Lihat ke Halaman Asli

Momento

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jangan pernah membiarkan keajaiban pergi!
~ Wowisms


Seorang tukang kayu mengajukan lamaran kepada seorang pemborong. Sang pemborong menerima dengan syarat:

“Kamu akan saya terima sebagai tukang kayu untuk proyek-proyek saya. Tapi berjanjilah, kamu akan bekerja sepenuh hati dengan segenap keahlianmu. Anggaplah semua rumah yang kamu pasang kayu-kayunya adalah rumah yang dibangun untukmu sendiri!”

“Saya berjanji!” Si tukang kayu menyanggupi.

Bertahun-tahun berlalu dan sang pemborong sangat kagum dengan kinerja, kesungguhan, dan ketelitian si tukang kayu. Pekerjaannya sangat kuat, rapih dan senantiasa memanfaatkan teknik baru yang menjanjikan. Jadilah si tukang kayu sebagai salah satu pekerja yang sangat dicintai.

Tiba suatu waktu ketika si tukang kayu mengajukan untuk pensiun. Dengan berat hati sang pemborong menyetujui, namun memohon dengan sangat untuk membuatkan satu rumah terakhir sebelum ia meninggalkannya. Si tukang kayu pun menyanggupi.

Di luar kebiasaan, dengan pikiran untuk segera istirahat, si tukang kayu bekerja tanpa kepenuhan hatinya. Dia lakukan berbagai jalan pintas, meski dia tahu bahwa itu mengurangi keamanan bangunan. Ketelitian dan kerapihan pun dia abaikan. Dia menganggap sang pemborong dan sang bakal pemilik tak akan pernah tahu.

Dengan sangat cepat rumah terakhir inipun jadi. Dia datang untuk melaporkan selesainya rumah tersebut sekaligus berpamit.

“Terima kasih,” jawab sang pemborong, “Kamu adalah karyawan terbaik yang aku punya. Sebagai balasan pengabdianmu, ini saya serahkan kunci rumah yang baru selesai kau bangun itu. Rumah itu adalah hadiah untukmu!”

Bayangkan perasaan si tukang kayu. Sudah pasti ia menyesal. Jika tahu rumah itu untuknya, tentu segala daya terbaik akan dilakukannya. Sayang kesempatan itu lewat. Hanya satu pengingkaran janji, dan ia mendapatkan rumah terburuk dari rumah yang pernah dibangunnya. Rumah di mana ada bagian-bagian tak ramah yang ia sendiri bayangkan jangan sampai diketahui sang pemilik. Rumah yang bukan idaman.

Bayangkan kembali bila hidup kita berjalan seperti si tukang kayu. Kerja keras bertahun-tahun demi membangun reputasi, namun pada akhirnya yang kita dapatkan adalah label hasil tindakan kita yang menyalahi janji serta komitmen keagungan kita. Kita sibuk menciptakan berbagai kemungkinan ideal bagi orang-orang lain di paruh terbaik usia kita, namun dengan satu percobaan melanggar prinsip, kita menjerumuskan diri ke paruh usia kita yang suram, yang tak aman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline