Lihat ke Halaman Asli

Bintang

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“You are both stars, don't forget.
And the stars exploded billions of years ago,
to form everything that is this world.
Everything we know, is stardust.
So don't forget, you are stardust.”


Kita adalah debu bintang. Itu menurut lakon gypsy pembaca garis tangan di film romantis Before Sunset, yang dibintangi aktor Ethan Hawke dan Julie Delpy. Ya bila kita percaya, kita adalah serpihan kecil bintang-bintang yang meledak jutaan tahun yang lalu, sebuah momen Big Bang yang melahirkan galaksi bimasakti yang kita tinggali sekarang ini. Oleh karena itu menjadi wajar, jika salah satu impian besar manusia adalah kembali menjadi bintang.

Demi melesat menjadi bintang, bagaimanakah caranya? Apakah dengan prasyarat khusus? Ternyata tidak. Cara menjadi bintang sama jumlahnya seperti bintang-bintang yang telah ada di langit. Ribuan bahkan mungkin jutaan. Kalau saja bintang hanyalah soal tinggi, maka kita takkan mengenal Danny De Vito. Kalau saja bintang itu adalah langsing, maka kita takkan mengenal Oprah Winfrey. Kalau saja bintang itu tampan, maka kita takkan mengenal Howard Stern, bintang film yang sering diolok sebagai bintang yang hanya layak ditampilkan di radio. Kalau saja bintang itu tentang kefasihan bertutur, tentu kita takkan mengenal Sylvester Stallone dan Arnold Schwarzenegger. Kalau saja bintang itu sempurna, maka kita takkan mengenal Hellen Keller, seorang tuna lengkap, buta, tuli dan bisu. Kalau bintang itu perkara kekayaan, kita takkan mengenal penderma Ibu Theresa dari Kalkuta, atau Muhammad Yunus sang nobelis dari Bangladesh. Kalau bintang itu kekuatan fisik, maka kita takkan mengenal penjunjung ahimsa Mahatma Gandhi.

Lalu bila menjadi bintang itu bertebaran jalannya, pasti ada sebentuk mental yang mengatasi keriuhan masing-masing perjalanan. Sebuah panduan yang layak mengiringi ikhtiar tanpa lelah kita. Di dunia motivasi, untuk menjadi bintang yang sesungguhnya, ternyata tidak ajaib dan sulit-sulit amat. Sang pemantik kebintangan, Mario Teguh, memberi tuntunan dasar pelaksanaan sesederhana berikut ini:

Jadilah yang pertamauntuk mendukung ide dan pendapat orang lain, untuk membantu; dan untuk menghasilkan dan jadilah yang terakhir untuk meragukan, dan untuk menyerah.(Becoming A Star, Mario Teguh)

Kata teknis singkat untuk apa yang diungkapkan sang pemantik itu dalam dunia pengembangan perilaku dikenal sebagai sebuah bagian dari kualitas adversity, kepekaan terhadap peluang. Di tengah-tengahnya, kita akan menemukan gariah yang tak bisa dilepaskan, yakni: keterbukaan untuk menguji ide atau gagasan. Sebuah medan luas yang disediakan untuk tak otomatis menerima, juga tak serta merta menolak atau meragukan, melainkan aktif menyambut dan mempertimbangkan. Ada spektrum upaya demi membuktikan, dan medan sembrani yang tak gampang menyerah.

Cerita-cerita berikut semoga mengukuhkan pentauladanan kualitas adversity bagi masing-masing kita. Sukses besar mereka bisa dilihat siapapun sebagai penghantar proses pembintangan:

Andy Bechtolsheim. Mungkin jarang yang mendengar namanya. Wakil presiden Cysco System ini adalah orang yang juga ikut mendirikan Sun Microsystems, perusahaan informatika jajaran atas. Ia datang sendiri ke rumah rekan yang mengundangnya, demi mendengar gagasan dua mahasiswa Stanford usia duapuluhan yang memerlukan modal untuk membeli motherboard dan komponen lain untuk merakit komputer murah. Di akhir pertemuan, Bechtolsheim menulis selembar cek senilai 100.000 dollar Amerika, yang katanya sebuah angka yang dipilih semata-mata karena angka itu bulat dan sedap dipandang. Ia mempercayakan dana itu tanpa tawar menawar. Tanpa pembicaraan tentang nilai atau harga saham. Bahkan saat itu dua mahasiswa tersebut belum resmi mendirikan perusahaan.

Berselang beberapa tahun kemudian di tahun 2004, perusahaan yang diberinya modal awal itu ‘diharuskan’ go publik, karena melampaui batas nilai aset dan kepemilikan saham yang wajib dilaporkan ke masyarakat umum. Bukan go publik biasa, yang dilakukan perusahaan karena butuh dana murah dari masyarakat. Nilai penawarannya tak tanggung-tanggung seharga 2 milyar dollar. Bisa dibayangkan, berapa kemudian nilai tunai kepercayaan Bechtolsheim kepada Larry Page dan Sergey Brin, si dua mahasiswa yang ternyata pendiri Google Inc. itu?

Donald Keough. Juga mungkin tak banyak yang mengenalnya. Ia adalah generasi pertama yang menjadi investor bagi tetangga yang pada awalnya ia sangka seorang super pemalas. Betapa tidak, orang yang ia maksud itu tak pernah keluar rumah dan tampaknya ketagihan bertelepon. Sekalipun keluar rumah, tak meyakinkan, karena berpakaian seadanya, dan menyetir sendiri mobil sederhananya. Tapi tak harus berlama-lama, kualitas adversitynya berbalas berkali-kali lipat. Karena orang yang dibantunya itu adalah Warren Buffet, yang dunia mengenalnya kemudian sebagai sang investor ulung.

Kisah lain: keluarga dan kolega Masaru Ibuka dan Akio Morita. Bila mereka meragukan imajinasi Masaru Ibuka dan Akio Morita, kita pasti takkan mengenal Sony Corporation. Raksasa elektronik dunia, yang pendapatan operasionalnya rata-rata 50 milyar dollar Amerika Serikat itu, lahir dari kepercayaan menanamkan modal patungan sebesar 190.000 yen. Pada waktu itu, yang mereka lihat hanya kegigihan para teknisi di sebuah toko kecil perbaikan radio di sebuah departemen store di Tokyo yang luluh lantak akibat bom tahun 1945. Toko kecil yang sanggup kemudian menjadi pemasok barang bermutu satu ke toko-toko elektronik besar dan terkemuka dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline