Lihat ke Halaman Asli

Doa

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“How do we invoke the saints?”
“Through prayer,”

“We invoke the saints through constant prayer.
And when they are near, everything changes. Miracles happen.”


Percakapan di atas saya dapatkan dari novel ‘the Valkyries’ karya salah satu pengarang favorit saya, Paolo Coelho. Singkat kata dari sana bisa disimpulkan, bahwa kita bisa memperalat para malaikat —para pembantu Tuhan Maha Suci, demi keefektifan kehidupan kita melalui doa-doa.

Namun doa yang seperti apa yang pada akhirnya bisa mendekatkan kita pada kesucian ruang waktu, sehingga kemudian segala sesuatunya bisa berubah untuk kebaikan kita? Doa bagaimana yang mampu menghadirkan keajaiban-keajaiban konkrit bagi keindahan dan kebesaran kita?

Ada diagnosa sederhana namun sejati yang ditawarkan tentang ini, bahwa ternyata bukan pada doanya kita mesti berfokus, melainkan berbalik pada pribadi yang mempertaruhkan doa tersebut. Mario Teguh kerap mengingatkan:

Doa adalah penting.Namun yang terpentingadalah kualitas orang yang berdoa.

Pada kesempatan lain, beliau menegaskan untuk segera saja kita hentikan mencari-cari doa yang cespleng, mujarab, sok pasti dikabul, dan sebangsanya itu tanpa kita memperluang kalbu, memperbesar jiwa, menyiapkan energi menuju harapan dan keinginan kita. Sepertinya beliau sedang mentaubatkan rasio bahwa perkenan sebuah doa berbanding lurus dengan remeh atau agungnya sang pendoa. Doa segunung takkan tertampung oleh pribadi yang membiarkan dirinya hanya kerikil.

Kiranya sebuah kisah lama dapat lebih menyegarkan kita tentang penasehatan ini. Ceritanya sebagai berikut:

Suatu ketika dua orang pergi bersama ke sebuah danau. Selang sebentar mereka pulang. Orang yang satu mendapatkan orang lainnya membawa air dalam jumlah lebih banyak.

Yang mendapatkan sedikit bergegas kembali menuju danau, dan memulai kecemburuannya dengan mencaci maki. Ia menuntut apa yang menurut pikirannya merupakan ketidakadilan.

Sang danau menanggapi dengan tenang:

“Aku hanya menyediakan air. Niatku hanya memberi. Tentang sedikit atau banyaknya air yang kau dapatkan bergantung pada kebesaran tempat yang kau bawa. Engkau hanya membawa gelas, sedang rekanmu membawa sebuah ember!” [PUF —0908]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline