Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi akhirnya angkat bicara terkait gangguan yang dialami oleh KRL beberapa waktu terakhir.
Ia menarik kesimpulan bahwa sarana dan prasarana kereta api di jalur Jabotabek yang meliputi rel kereta api, listrik aliran atas, dan penangkal petir sudah mulai usang. Hal tersebut tentu berimbas pada gangguan operasional kereta komuter Jabotabek.
Kondisi tersebut diperparah dengan cuaca ekstrem yang terus melanda kawasan Jabotabek akhir-akhir ini. Selain itu, Budi juga menambahkan bahwa frekuensi perjalanan yang semakin tinggi turut menjadi salah satu faktor gangguan kereta komuter Jabotabek.
Melihat kondisi tersebut, Budi Karya meminta kepada PT KAI (Persero) untuk membuat tim task force guna mengatasi kendala tersebut. Tim tersebut akan berfokus pada perbaikan rel kereta, aliran listrik atas serta alat yang berkaitan dengan petir.
Budi menargetkan perbaikan jangka pendek itu dapat rampung dalam jangka waktu dua minggu, sedangkan untuk jangka menengah dan panjang sekitar enam bulan hingga satu tahun.
Melihat polemik ini, kita perlu melihat kembali ke belakang. Perbaikan yang diperintahkan oleh Budi Karya Sumadi tentu memakan biaya yang cukup tinggi, padahal dana IMO guna perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian milik negara terus dikikis.
Tahun 2019 PT KAI hanya menerima dana IMO sebesar Rp 1,1 Triliun. Jumlah tersebut sangat sedikit bila dibandingkan dengan pengeluaran yang dibutuhkan oleh KAI untuk perawatan yakni Rp 3,8 Triliun. Artinya PT KAI harus memutar otak dan bekerja keras untuk menutupi kekurangan tersebut yang jumlahnya tidak sedikit.
Tidak hanya tahun ini, tahun sebelumnya pun dana IMO yang digelontorkan oleh Kemenhub terus dipangkas. Tercatat pada tahun 2017 dana IMO yang diberikan kepada KAI sebesar Rp 1,6 Triliun, kemudian tahun 2018 berkurang menjadi 1,3 Triliun.
Adanya pengurangan dana yang signifikan seolah memberikan kesan bahwa Kemenhub bermain-main dengan keselamatan masyakarakat. Kita tahu bahwa dana tersebut dialokasikan untuk perawatan, bila dikurangi terus menerus artinya Kemenhub mengabaikan keselamatan penumpang.
Bila sudah ada kejadian seperti ini maka KAI sebagai operator yang menjadi kambing hitam. Semua pihak merilis pernyataan seolah kejadian ini murni kesalahan dan keteledoran KAI karena tidak maksimal dalam merawat sarana dan prasarana mereka.
Evaluasi yang dilakukan Budi Karya seharusnya dapat melahirkan kebijakan baru yakni penambahan dana IMO di tahun berikutnya. Jangan hanya meminta perbaikan sarana dan prasarana namun tidak memikirkan biaya yang begitu tinggi. Keselamatan penumpang pada dasarnya adalah hal utama sehingga Kemenhub sebaiknya tidak mengabaikan hal ini.