Lihat ke Halaman Asli

"Grondkaart", Produk Hukum Zaman Kolonial yang Diakui Negara

Diperbarui: 7 September 2018   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stasiun Tanjung Karang 1940 (Lampunggeh.co.id)

Persoalan lahan antara warga Lampung yang menghuni bantaran rel kereta api dengan PT KAI (Persero) hingga saat ini masih terus bergulir. Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya pernyataan-pernyataan provokasi Senator asal Lampung yakni Andi Surya. Terbaru ia mengatakan bahwa konflik ini bermula dari perilaku PT KAI (Persero) yang haus akan lahan di bantaran rel KA.

Andi Surya juga menegaskan bahwa Grondkaart yang merupakan bukti kepemilikan lahan PT KAI (Persero) adalah bukti abal-abal yang tidak memiliki kekuatan hukum. Pendapatnya diperkuat dengan pernyataan seorang dosen Fakultas Hukum Agraria Universita Indonesia yakni Yuli Indrawati dalam Focus Group Disscusion yang diselenggarakan beberapa bulan lalu.

Yuli berpendapat bahwa konflik ini terjadi lantaran adanya kelalaian admimistrasi dan tidak surat maupun laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan terkait penyerahan lahan kepada PT KAI sebagai penyertaan modal atau penambahan modal. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada laporan atau surat yang ditujukan kepada Kementerian Keuangan dalam hal administrasi lahan kereta api sehingga tidak tercatat dalam kekayaan negara.

Perlu diketahui, Menteri Keuangan pada saat itu telah menerbitkan surat No. B-II/MK.16/1994 tanggal 24 Januri 1995 yang ditujukan kepada Kepala BPN yang berisi dua poin pokok. Poin pertama berbunyi tanah-tanah yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasarnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai aktiva tetap Perumka, berkenaan dengan hal itu maka tanah-tanah tersebut perlu dimantapkan statusnya menjadi milik atau kekayaan Perumka.

Poin kedua menyatakan bahwa terhadap tanah perumka yang diduduki pihak lain yang tidak berdasarkan kerjasama dengan Perumka, supaya tidak menerbitkan sertifikat atas nama pihak lain apabila tidak ada izin atau persetujuan dari Menteri Keuangan.

Ada hal yang perlu ditelisik lebih dalam lagi. Yuli Indrawati adalah seorang dosen Hukum Agraria, namun bukanlah ahli sejarah sehingga terjadi perbedaan dan perdebatan terkait Grondkaart dengan Sejarawan. Adanya perbedaan pandangan tentu menimbulkan permasalahan yang membuat konflik semakin rumit. Salah satu penyebab perbedaan tersebut adalah Anakronisme, memandang suatu pokok persoalan dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda secara temporal.

Apabila pandangan ini digunakan untuk menganilisis Grondkaart maka terjadi kesalahan besar dalam memahami Grondkaart itu sendiri. Ketidakpahaman bahasa yang digunakan dalam Grondkaart dan kurangnya kelengkapan Grondkaart membuat para ahli hukum masa kini semakin parah dalam menganalisis Grondkaart.

Grondkaart sendiri terjamin otentisitasnya karena dibuat sejaman yaitu pada masa lalu dan memiliki nilai originalitas karena diterbitkan oleh lembaga yang berwenang pada masa itu. Grondkaart juga memiliki nilai integritas kerena memuat nilai referensi dokumen legal formal yang mendasari pembuatannya serta nilai kredibilitas karena jelas peruntukannya dan memiliki dasar hukum peraturan yang kuat.

Jika Andi Surya merasa bahwa Grondkaart tidak memiliki kekuatan hukum dan para warga berhak sesuka hati menempatinya maka persoalan ini harusnya dibawa ke jalur hukum. Melalui pengadilan masyarakat jadi mengetahui siapa pemilik sah lahan tersebut.

Kita juga bisa mengetahui bukti apa saja yang dimiliki oleh Andi Surya hingga ia berani mengeluarkan pendapatnya selama ini. Jika dalam pengadilan ia tidak mampu membuktikan maka sebaiknya ia diproses hukum karena telah memberikan dan menyebarkan informasi palsu.

Lampung, 06 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline