Lihat ke Halaman Asli

Memahami Grondkaart Lebih Mendalam

Diperbarui: 14 Maret 2018   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Sumbardetik. Com

Hampir setiap hari kita disuguhi oleh pemberitaan tentang sengketa tanah, baik antara warga,  atau antara masyarakat dengan perusahaan yang masuk dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN), salah satunya PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

Kasus yang belakangan heboh yakni sengketa antara PT. KAI (Persero) dengan salah satu pengusaha asal Padang yakni Basrizal Koto. Sengekta tersebut bermula dari perjanjian sewa menyewa lahan antara PT. KAI (Persero) Divre II Sumatera Barat dengan PT Basko Minang Plaza (BMP). Perjanjian tersebut dimulai pada tahun 1994 yang kemudian diperpanjang hingga tahun 2004 yang kemudian sejak tahun 2004 dan seterusnya tidak ada lagi perpanjangan kontrak sewa-menyewa.

Pada 2010 Basko berani mengambil langkah yang justru merugikan dirinya sendiri, Dia dengan diam-diam mensertipikatkan lahan tersebut. Seiring berjalannya waktu, Basko menantang PT. KAI untuk menunjukan sertipikat atas lahan tersebut apabila lahan itu benar-benar milik KAI. Sayangnya setelah dalam proses di Pengadilan ditunjukkan bukti kepemilikan lahan tersebut, baik berupa Grondkaart dan manuskripnya, pihak Basko malah mengatakan bahwa Grondkaart tidak bisa dijadikan sebagai bukti sah secara hukum.

Berikut penjabaran dari Grondkaart beserta kekuatan hukum Grondkaart itu sendiri di Indonesia.

Grondkaart adalah sebuah gambar penampang lahan yang dibuat untuk menunjuk suatu objek lahan dengan batas-batas tertentu yang tertera diatasnya. Dasar hukum pembuatan Grondkaart adalah Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1870 nomor 55 tentang Agrarische Wet dan nomor 118 tentang Agrarische Besluit, dimana ditegaskan bahwa "Semua yang dianggap sebagai tanah negara (staatsdomein) dan diperuntukkan untuk fungsi khusus (bestemming) dibuktikan dengan Grondkaart".

Grondkaart juga dibuat berdasarkan Surat Keputusan oleh Kepala Pemerintahan (besluit van gouverneur generaal) dan juga diubah atau direvisi dengan Surat Ketetapan pejabat yang berwenang setingkat direktur dalam birokrasi Pemerintahan Kolonial dan disetujui oleh wakil dari Kadaster atau yang dikenal dengan Badan Pertanahan Nasional.

Selain itu, semua tanah yang telah dibuktikan dengan Grondkaart juga tidak perlu lagi melewati proses konversi dalam PP nomor 11 tahun 1961 yang menunut konversi hak barat karena status tanah pemerintah tidak termasuk dalam hak-hak barat tersebut yakni eigendom, erfpacht, gebruik recht atau opstal. Hal ini juga diperkuat dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1979 pasal 8 yang menegaskan bahwa semua tanah BUMN adalah tanah negara.

Pemerintah Indonesia sendiri juga telah mengakui keabsahan Grondkaart, hal ini dibuktikan dengan adanya surat Menteri Keuangan Nomor B-II/MK.16/1994 tanggal 24 Januri 1995 yang ditujukan kepada kepala BPN dimana surat tersebut terdapat dua poin yang dijabarkan. Poin pertama berbunyi tanah-tanah yang diuraikan dalam Grondkaart pada dasarnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai aktiva tetap Perumka. Berkenaan dengan hal itu maka tanah-tanah tersebut perlu dimantapkan statusnya menjadi milik atau kekayaan Perumka. Selanjutnya poin kedua menyatakan terhadap tanah Perumka yang diduduki pihak lain yang tidak berdasarkan kerjasama dengan Perumka, suapaya tidak menerbitkan sertifikat atas nama pihak lain apabila tidak ada izin atau persetujuan dari Menteri Keuangan

Tidak hanya Basko, anggota DPD RI dari Lampung, Andi Surya juga mengatakan hal yang sama dengan Basko. Melalui rilis yang dikeluarkan oleh salah satu portal media online milik Basko harianhaluan.com, Andi Surya menegaskan bahwa Grondkaart bukanlah bukti kepemilikan yang sah secara hukum serta menjelaskan bahwa masyarakat yang sudah menempati wilayah Grondkaart lebih dari 20 tahun bisa mengajukan sertifikasi kepada BPN. Tidak hanya melalui harianhaluan.com, saat menjadi moderator acara diskusi pun ia sempat menuturkan hal serupa. 

Dalam diskusi dengan topik "Kereta Api Babaranjang, Menakar Kepentingan Korporasi BUMN untuk Kenyamanan Masyarakat Bandar Lampung" pada 2017 lalu, Andi Surya bahkan menegaskan bahwa kedepannya PT. KAI melalui petugasnya tidak lagi mendatangi warga untuk membuat perjanjian apapun terkait sewa menyewa karena tanah tersebut tanah negara dan Grondkaart bukan alas hak bagi perusahaan.

Pada kenyataannya Grondkaart diakui oleh negara sebagai bukti kepemilikan yang sah dan kuat, terbukti dengan kemenangan PT. KAI dalam mengahadapi Basko dimana Pengadilan Negeri Padang memerintahkan eksekusi lahan sengketa atas keputusan terakhir Mahkamah Agung di tingkat Kasasi. Dari sini sudah jelas bahwa MA memenangkan PT. KAI berdasarkan bukti kepemilikan lahan milik PT. KAI yakni Grondkaart yang artinya pihak Basko telah melakukan tindak penyerobotan tanah negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline