Di sini, Penulis bukan memandang kedai kopi sebagai sesuatu yang ada dari sananya dan tidak terelakkan. Namun, Penulis memandang kedai kopi sebagai ruang urban, dimana kedai kopi menjadi sebuah ruang persinggahan yang memediasi pengunjungnya untuk dapat berkomunikasi antara satu dan yang lainnya berbagi informasi dan wawasan positif baik dalam sosial berwarga, bermasyarakat, bernegara atau atas kediriannya itu sendiri.
Dengan kata lain, Kedai kopi bukanlah ruang yang hadir sebagai 'selembar kertas kosong' atau sebuah 'kontainer' yang dapat menampung berbagai aspek lalu membiarkannya chaos seperti apa yang kita rasakan di ruang-ruang belanja pasar atau mall, namun Kedai kopi bertindak sebagai 'dirinya sendiri' dengan sifatnya membentuk diri (self-organizing), serta terbuka kepada masyarakat.
Selanjutnya, di dalam ruang kedai kopi, seketika batas-batas sosial seolah-olah diruntuhkan untuk sementara waktu, baik yang bersifat stratafikasi, hirarki, perbedaan etnis, agama, dan praktik feodalisme. Semuanya secara sementara akan melebur di dalam ruang komunikasi yang lebih egaliter.
Di samping menjadi sebuah ruang yang memiliki karakternya sendiri, kedai kopi juga secara tidak langsung menjadi sebuah 'arena pertunjukan'. Realitas pertunjukan yang terjadi di dalam ruang kedai kopi adalah kegiatan kesenian yang paling klasik, yaitu seni bercerita.
Terlepas kegiatan penceritaan itu akan membawa isian cerita yang berbeda-beda, entah itu sekedar temberang, bebual, cerita borak, labu aer, atau sembang-sembang saja. Tetapi yang pasti, antara pencerita dan mitra tutur (pendengar/ lawan bicara) itu akan terjadi sebuah komunikasi dari realitas material seni pertunjukan. Kita akan melihat bagaimana mahirnya seseorang mengolah dan mengungkapkan pemikiran serta ide-ide kreatifnya.
Selain seni pertunjukan, budaya kedai kopi juga dapat mewakili realitas material dari seni pergaulan. Secara material hal ini sama seperti beberapa peristiwa seni pergaulan di beberapa daerah lainnya, seperti Jaipongan (Jawa Barat), Dadung (Jambi), Tayub (Jawa Tengah), atau karapan sape (Madura).
Seni pergaulan ini melibatkan interaksi antara manusia satu dan lainnya. Meskipun kesenian-kesenian tersebut saat ini telah bergeser secara nilai dan fungsinya menjadi 'seni tontonan', namun apabila kita menarik dari akar lokal muasal kesenian tersebut, kesenian-kesenian itu mulanya adalah bagian dari seni pergaulan. Seni pergaulan daerah lain tersebut dapat disandingkan dengan budaya kedai kopi urban masyarakat perkotaan di Tanjungpinang.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat diartikan bahwasanya budaya kedai kopi sebagai ruang sosial dengan mempertimbangkan rasa dan suasana.
Dari berbagai macam realitas kedai kopi Kota Tanjungpinang, yaitu dengan dinamika pasang-surutnya yang di pengaruhi oleh pertarungan dalam ranah 'rasa' dan 'suasana', realitas dari material seni pergaulan yang menjadi sebuah muara di mana batasan sosial seolah runtuh sementara dan semua tergantikan oleh hasrat kebersamaan dalam silaturahmi.
Akan tetapi, nilai-nilai pemaknaan tersebut sudah bergeser pula jika dihadapkan dengan realitas sekarang ini. Kini, kedai kopi mengalami pergeseran fungsi dan pemaknaan yang cukup signifikan.
Dewasa ini, kehadiran kedai kopi bagi anak-anak muda Kota Tanjungpinang baik pelajar SMA maupun mahasiswa memiliki nilai kebermaknaan yang berbeda. Perbedaan pandangan dari para anak muda ini pun tidak terlepas dari pengaruh material yang lahir dari rahim zaman yang dinamakan android.