Lihat ke Halaman Asli

Wacana Sistem Baru Penerimaan Anggota Polri

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331563661567182546

[caption id="attachment_176071" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi (KOMPAS.com)"][/caption]

Tanyalah kepada anak-anak SD tentang cita-cita. Akan banyak yang menjawab ingin jadi seorang polisi. Mungkin, dalam benak mereka, menjadi seorang polisi adalah kebanggaan. Berseragam, gagah, dan menegakkan keadilan. Suatu yang sempurna untuk anak-anak.

Sebagian masyarakat kita masih menganggap menjadi seorang polisi adalah sebuah profesi yang prestisius, mungkin anggapan masa kanak-kanak dulu yang membawa persepsi itu sampai menjadi dewasa, masih menganggap bahwa profesi polisi adalah profesi yang sangat luar biasa.

Antusiasme masyarakat ketika dibuka pendaftaran polisi selalu tinggi, anak-anak muda banyak mendaftar sebagai bintara maupun mendaftar Akpol. Seperti beberapa saat yang lalu ketika dalam sebuah perjalanan dari Cilacap menuju Semarang, saya menjumpai sekelompok anak muda yang akan mengikuti seleksi bintara Polri di Semarang. Semangat dan optimisme terpancar dari wajah-wajah mereka. Bahkan tidak lupa dalam perjalanan itu mereka membaca dzikir-dzikir tertentu yang diberikan oleh kiyai, demi cita-cita lolos seleksi polisi. Namun miris ketika pada salah satu pembicaraan mereka berdiskusi tentang, siapa yang ‘membawa', atau berapa harus bayar. Tersebutlah pangkat-pangkat AKBP dan nominal-nominal puluhan juta rupiah. Dan jika tidak lolos maka uang itu tidak dapat dikembalikan.

Ya, memang sudah jadi rahasia umum kalau mau masuk polisi harus bayar nominal tertentu. Meskipun berkali-kali pihak Polri sudah mengumumkan tidak ada pungutan apapun dalam rekrutmen anggota Polri, ratusan spanduk dipasang, dan bantahan-bantahan terus keluar dari Mabes Polri, namun tetap saja, masyarakat melihat sendiri praktik-praktik tersebut.

Oknum-oknum yang melakukan hal ini tidak mungkin berani melakukan praktik ini jika mereka tidak menemukan rasa aman. Apalagi ditengah tuntutan reformasi Polri yang semakin gencar dan citra Polri yang sudah jatuh ditangah masyarakat. Pertanyaannya adalah, darimana mereka merasa aman melkukan praktik pungutan-pungutan ini ? Rasa aman yang dimiliki seseorang dalam melakukan suatu hal yang melanggar hukum mungkin disebabkan oleh pertama ; lemahnya penegakkan hukum atau tindakan bagi mereka yang sudah tertangkap tangan, kedua adalah adanya backingan dari pihak atasan.

Ditengah semangat reformasi Polri sekarang ini, rasanya sangat berat jika rekrutmen anggota Polri masih terdapat praktek seperti ini. Akan sangat sulit mengubah kultur jika anggota-anggota baru sudah terkontaminasi hal-hal berbau KKN, bahkan sejak tahap penerimaan.

Solusi yang terbaik menurut saya adalah dengan membersihkan sistem rekrutmen. Suatu hal yang sangat sulit jika berharap pembersihan berasal dari dalam Polri sendiri, mengingat kultur ini tampak sudah mengakar. Salah satu opsi terbaik adalah menyerahkan seleksi anggota Polri kepada pihak ketiga. Beberapa BUMN sudah melakukan hal ini. Disini Polri hanya tinggal menerima hasil seleksi calon anggota Polri dari penyelenggara seleksi yang independen. Tentu saja semua kriteria ditentukan oleh Polri sebagai pengguna.

Proses ini akan mampu menekan praktek kecurangan yang kerap mewarnai penerimaan anggota Polri baru. Dengan ditunjuknya pihak ketiga yang akan menyeleksi SDM sesuai dengan kriteria Polri maka diharapkan proses seleksi dapat transparan dan dapat dipantau oleh publik. Sebuah langkah awal membentuk polisi yang bersih dan diterima masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline