Perdana Wahyu Santosa Hampir semua negara di dunia ini berorientasi pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau GDP semata, terutama negara-negara emerging market. PDB selalu dijadikan indikator utama sekaligus terpenting bahkan terkadang menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB dinilai sebagai semakin tingginya pencapaian ekonomi suatu negara, begitu pula sebaliknya. Paradigma pembangunan di Indonesiapun tak jauh berbeda dengan konsep klasik-tradisional yang menjadikan PDB sebagai satu-satunya tolok ukur kesuksesan ekonominya tersebut. Tidak mengherankan jika kebanyakan konsep dan kebijakan perekonomian bangsa ini hanya memacu pertumbuhan PDB tersebut tanpa perlu menilik kualitas pertumbuhan yang lebih substansial. Pertanyaan mendasar yang mulai berdengung adalah "apakah pertumbuhan PDB yang tinggi berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat"?. Sejauh ini, fakta empiris (statistik) justru tidak mendukung premis tersebut. Dengan kata lain, pertumbuhan PDB belum dapat menjamin meningkatnya kesejahteraan rakyat kebanyakan di Indonesia. Pertumbuhan PDB yang cukup tinggi di Indonesia sejak 10 tahun terkahir sangat membanggakan tentunya, namun kualitasnya masih dianggap rendah oleh sebagian ekonom. Betapa tidak ,apabila penikmat pertumbuhan PDB sangat tidak berimbang baik kelas sosial maupun geografis. Sejauh ini, pertumbuhan ekonomi yang signifikan hanya terjadi di Jawa dan sebagian Sumatera saja. Pertumuhan ekonomi di wilayah RI yang lain justru cenderung stagnan bahkan ada yang mengalami "krisis" selektif pada beberapa sektor. Wilayah Jawa dan Sumatera hampir mendominasi sebagian besar pertumbuhan ekonomi tersebut. Di Jawa pun pertumbuhan ekonomi hanya terkonsentrasi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur saja. Ini menunjukkan kurangnya pemerataan pertumbuhan PDB dan tidak berimbang penikmatnya. Bahkan disinyalir kalangan penikmat pertumbuhan PDB kerap mengorbankan kepentingan ekonomi rakyat kalangan bawah. Jelas pertumbuhan PDB di Indonesia masih kurang bermutu karena aspasial. Kondisi ini juga bertentangan dengan konsep ilmu ekonomi itu sendiri yang bertujuan mencapai kesejahteraan masyarakat seluas-luasnya. Pertumbuhan PDB Indonesia yang membanggakan kita semua dimana rasio utang terhadap PDD sekitar 26%, defisit anggaran hanya 0,6% dari PDB, cadangan valas cukup memadai (Fitch & Moody), cadangan berbagai komoditas yang melimpah, struktur perbankan yang kuat dan estimasi pertumbuhan PDB 6,7% pada 2011 dan angka pengangguran menjadi sekitar 8% saja. Namun itu semua ternyata belum memperlihatkan peran negara termasuk pasar finansial untuk lebih bersungguh-sungguh meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi yang lebih bermutu. Pertumbuhan PDB harus lebih merata (pro growth) dan mampu mengatasi kemiskinan dan ketimpangan (pro poor), menciptakan lapangan kerja (pro job) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan nyata. Dengan demikian konsep ekonomi pembangunan yang dikembangkan sebaiknya ditinjau ulang dan peran dimensi politik (kekuasaan) seharusnya merubah paradigma ekonomi yang lebih menekankan pada kualitas pertumbuhan PDB. Apakah Indonesia mampu? Tentu saja bisa!. Para pejabat perekonomian dan ekonom Indonesia sudah memahami masalah akut ini dan memiliki kemampuan dan komptensi keilmuan yang memadai. Pemahaman hubungan imbal-balik dari setiap agen perekonomian dari aspek, proses, institusi hingga outputnya memerlukan kualitas konsep ekonomi. Nah agar kualitas pertumbuhan PDB meningkat agar yang mencakup kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan inilah membutuhkan perubahan konsep ekonomi politik, sikap kritis namun konstruktif dan dukungan kekuasaaan dalam pengambilan berbagai kebijakannya. Indonesia bisa!! Sabang Merauke Circle
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H