Lihat ke Halaman Asli

Ekonomi Global 2012: Darkening Outlook!

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdana Wahyu Santosa

Permasalahan krisis utang ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena sejak 2009 mulai melilit beberapa negara Eropa seperti Yunani, Irlandia, Potugal, Italia dan Spanyol. Bahkan kabar terakhir, Perancis pun sudah terindikasi masalah yang sama. Dengan bergabungnya AS kedalam pusaran krisis utang dan defisit anggaran ini, maka diprediksi akan terjadi pelemahan terhadap pemulihan ekonomi global yang terhantam badai subprime mortgage pada 2008 lalu. Masih terbuka kemungkinan lembaga pemeringkat dunia seperti S&P menurunkan peringkat utang negara-negara maju tersebut.

Para pemimpin dunia merespon situasi genting tersebut dengan melakukan beberapa kebijakan tanggap darurat dan berkomitmen untuk mengintervensi pasar sepanjang diperlukan. Bank Sentral Eropa (ECB), BOJ (Jepang) dan lainnya juga menegaskan untuk mengantisipasi kepanikan pasar global. Kebijakan Eropa ini diharapkan membantu The Fed (AS) yang sudah kepayahan karena ruang manuvernya semakin sempit. Namun komitmen Bank Sentral Eropa juga masih diragukan pasar karena dia sendiri sudah terbebani masalah krisis utang anggotanya. Bahkan IMF sendiripun sudah dianggap gagal menyelamatkanYunani. Peringkat utang Yunani pada 2009 adalah A- menjadi “Junk Bond” pada 2011 sekalipun IMF sudah aktif membantu sejak Mei 2010.

Perekonomian AS yang dekade sebelumnya begitu adidaya mulai kehilangan perannya dalam percaturan ekonomi global. Penurunan peringkat utang AS benar-benar menampar kewibawaan AS. Para ekonom dan analis keuangan global, meprediksi bahwa lansekap aristektur keuangan global akan segera bergeser ke Asia seiring melemahnya ekonomi AS danEropa. Meningkatnya kekuatan ekonomi Asia membuat kawasan ini berpotensi menjadi pusat gravitasi ekonomi global yang baru dalam 15-20 trahun mendatang. Hal tersebut didukung bahwa pemberi pinjaman terbesar bagi AS saat ini adalah Jepang dan China.

Perekonomian AS dan Eropa yang sebelumnya dibangun melalui kebijakan industri yang solid dan intergratif plus dukungan teknologi tinggi terbukti mampu menjadi pusat ekonomi global. Namun secara sistematis, kebijakan industri barat mulai tergantikan oleh kebijakan liberalisasi keuangan yang didukung penuh oleh para ekonomnya. Policy makers AS khususnya lebih berusaha meningkatkan daya saing perekonomiannya pada lewat industri keuangan dan meninggalkan kebijakan industrinya. Industri keuangan AS dan Eropa memang dikenal sangat canggih berkembang pesat dan pada akhirnya “menguasai” perekonomian dunia terutama di pasar finansial global. Krisis subprime mortgage pada 2008 lalu, merupakan babak final kejayaan liberalisasi keuangan sekaligus sinyal kuat akan potensi kekacauan ekonomi global di masa depan. Ketidakseimbangan kebijakan industri dan liberalisasi pasar keuangan terutama perdagangan instrumen derivatif telah memicu AS dan Eropa masuk ke dalam kubangan krisis ekonomi yang melelahkan.

Di sisi lain, lembaga pemeringkat melihat potensi pemulihan ekonomi AS semakin lemah apalagi setelah defisit anggarannya dibatasi. Rasio utang terhadap PDB AS sudah hampir 100% juga menunjukkan bahwa perekonomiannya sudah sangat sulit bergerak sehingga prospek pertumbuhannya semakin pesimis. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, kembali The Fed akan segera mengeuarkan Quantitative Easing III (QE3) sebesar USD447 miliar untuk mencoba menstimulus ekonomi AS. Namun menurut saya, QE3 juga tidak benar-benar memberikan harapan positif bagi AS karena kebijakan QE3 tersebut hanyalah sekadar upaya pencegahan agar krisis ekonomi tidak semakin parah dan merambat terlalu cepat. Jadi secara umum, kondisi pemulihan ekonomi AS dan global masih rapuh sekalipun QE3 direalisasikan sepenuhnya dan sebaliknya akan menciptakan overliquidity di pasar global. Limpahan likuiditas tersebut justru berpotensi mengkerek harga komoditas dan emas serta mengalir ke emerging market seperti Indonesia, misalnya.

Sepanjang September 2011, Wall Street diliputi ketidakpastian sehingga bursa AS tersebut kurang bergairah. Indeks Dow Jones turun dan S&P melemah. Ini penurunan terendah sejak 22/08/11 lalu. Salah satu penyebab lesunya pasar modal global adalah masalah krisis utang Yunani yang semakin tidak jelas namun pasar masih sedikit berharap pada pencairan QE3 dan bantuan Jerman. Situasi tersebut diperburuk oleh obligasi Yunani sudah diambang default dan potensi penurunan peringkat utang Eropa.

Melihat kondisi perekonomian AS dan Eropa saat ini, maka wajar jika banyak pihak, baik para analis, periset, ekonom hingga investor masih meragukan pemulihan ekonomi AS dan Eropa dalam waktu singkat. George Soros, kampiun investor global mengatakan bahwa "perekonomian dunia dalam mara bahaya dan akan menimbulkan konsekuensi politik tak terhitung". Pihak World bank berpendapat bahwa perekonomian Eropa yang parah dan stagnasi ketenagakerjaan di AS mengidikasikan pertumbuhan ekonomi yang pesimis.  Hal ini terjadi akibat AS, Eropa dan Jepang terlalu lama menunda-nunda keputusan sulit.

Sabang Merauke Circle

Note: Artikel ini merupakan sebagian dari makalah yang dipaparkan pada Seminar Nasional "Krisis Keuangan AS dan Eropa dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia" 19 September 2011, Le Meredien Hotel, Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline