Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Budaya Birokrat

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku memberi kesaksian,

bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai

Filsafat mati

dan penghayatan kenyataan dikekang

diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan,

kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan

dianggap pembangkangan.

Pembodohan bangsa akan terjadi

karena nalar dicurigai dan diawasi.

(W.S. Rendra dalam Kesaksian Tentang Mastodon-Mastodon. Jakarta, November 1973)

Apakah yang melatarbelakangi sang “Burung Merak”, W.S. Rendra menulis puisi di atas pada tahun 1973? Apakah pada saatitu peradaban pejabat dan pegawai, kemudian saya generalisasi sebagai birokrat, di negeri ini sedang dalam titik kritis : menuju kematian filsafat ? Apakah pada saat ini peradaban para birokrat sudah lebih baik atau malah menuju titik kehancuran?

Refleksi Budaya Birokrat

Pertanyaan-pertanyaan di atas selalu berputar di dalam otak saya. Apalagi, secara nyata-nyata, saya adalah bagian dari birokrasi itu sendiri.

Sebagai birokrat, saya tidak asing mendengar eselonisasi, strukturisasi, hierarki, petunjuk pelaksanaan dan istilah formal lainnya. Dari semua istilah itu dapat dibayangkan bahwa kebudayaan/peradaban birokrat bersifat kaku, instruksi top-bottom, loyalitas dinomor satukan dan struktur adalah segala-galanya.

Seorang Pejabat Eselon II, misalnya, memiliki beberapa bawahan Eselon III, Eselon IV dan Pelaksana. Apabila institusi birokrasi itu menganut sistem semi militer, apa yang dikatakan Pejabat Eselon II harus dilaksanakan oleh Pejabat dan Pelaksana di bawahnya. Tanpa kritik bahkan cela. Maka tidak jarang kita melihat tingkah laku para Pejabat yang menyebalkan orang awam dan merepotkan anak buahnya. Akhirnya, mereka hanya bisa curhat sesama pelaksana atau pejabat selevel tanpa berani mengritik pejabat dengan level di atasnya.

Membaca kembali puisi W.S. Rendra di atas, kita tahu bahwa birokrat diprioritaskan sebagai orang-orang yang patuh. Misalnya, diadakan Pelatihan Kesamaptaan. Di sana birokrat ditempa dan didoktrin arti pentingnya korsa dan loyalitas. Bagaimana mematuhi perintah dengan cepat dan tepat, bagaimana menunjukan sifat hormat di depan atasan dan bagaimana merasakan penderitaan secara kolektif adalah makanan keseharian Diklat Kesamaptaan. Hasilnya? Birokrat-birokrat yang patuh, tunduk dan enggan untuk berinovasi. Karena, bisa jadi, inovasi, kesangsian, pertanyaan-pertanyaan menandakan pembangkangan.

Jawaban untuk pembangkangan, seperti yang saya ketahui, adalah ancaman mutasi ke daerah antah berantah, dipindahkan ke bagian lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan sanksi sosial berupa bullying. Sehingga tidak heran, para pelaksana di tingkat struktur paling rendah hanya bisa sabar dan berdoa ketika mengalami kesewenang-wenangan.

Memulai Titik Perubahan

Semua kebobrokan itu bermula ketika birokrat berhenti menghidupkan filsafat. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri dari kata philia (persahabatan, cinta)dan sophia (kebijaksanaan). Sehingga, secara harafiah filsafat bermakna orang yang mencintai kebijaksanaan.

Filsafat menekankan kepada cara berpikir kritis, menimbang-nimbang segala sesuatu; benar atau salah, melihat segala permasalahan dari perspektif yang lebih luas, meninggalkan taklid (tunduk buta) terhadap sebuah doktrin, ideologi bahkan agama. Jadi apa yang diharapkan dari hidupnya filsafat dalam kebudayaan birokrasi adalah munculnya birokrat-birokrat yang berjuang di jalan kebenaran, bukan birokrat-birokrat yang membela atasannya, seperti anjing membela tuannya.

Konsekuensinya, institusi birokrasi harus berani menerima apabila ada salah satu anggotanya melaporkan kebobrokan institusinya kepada media masa ataupun Institusi Pengawasan (KPK, Inspektorat Jenderal dll). Institusi birokrasi harus berlapang dada terhadap itu semua dan berhenti saling melempar tanggung jawab. Berkontemplasi atas segala kesalahan dan mulai melakukan revolusi birokrasi secara radikal.

Dimulai dari diri kita sendiri yang menghidupkan kembali filsafat di institusi masing-masing, saya kira birokrat-birokrat yang berfilsafat akan mengembalikan coreng muka negeri ini yang sudah kacau di mata media, nasional maupun internasional. Semoga.

Ferry Fadillah. Badung, 24 September 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline