Lihat ke Halaman Asli

Secarik Syair pada Gerobak Bakso: Kepedulian Budaya Sunda Seorang Anonim

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah dua tahun lebih saya tinggal di Bali. Berinteraksi dan bersinggungan dengan budaya dan masyarakat sekitar. Dengan menghilangkan segala ego budaya asli saya -sunda- agar diperoleh kesan yang objektif dengan jujur saya katakan bahwa budaya Bali begitu beragam, berakar, berjiwa dan bernilai transenden.

Kekecewaan saya muncul ketika mendatangi kota kelahiran, Bandung. Kota yang dikoar-koarkan sebagai puseur budaya Pasundan ini telah berubah beberapa tahun terakhir. Menjadi sebuah kota metropolitan, julangan bangunan mega-struktur dimana-mana, persinggungan antar budayanya pun semakin beragam. Di tengah segala perubahan itu, saya perhatikan –berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan kaula muda kontemporer- budaya sunda mulai terseok-seok mencari akar budayanya dan terengah-engah bergaul dalam aktualitas.

Dari percakapan-percakapan sederhana di warung kopi, cafe atau taman kota, mayoritas pemuda Bandung tidak tertarik untuk memperbincangkan budaya Sunda. Jangankan untuk sekedar diskusi budaya, mereka yang mayoritas asli Sunda atau campuran Sunda yang lahir di Bandung pun sering menghindari menggunakan bahasa Sunda yang baik dan benar. Tampaknya ragam bahasa gue dan elo lebih memikat. Lebih-lebih media populer semacam televisi dan radio dengan giat menyiarkan ragam bahasa ini.

Dari hal kecil ini saja kita sudah bisa memproyeksikan, akan menjadi apa budaya Sunda di masa depan? Jika hal-hal kecil saja, berupa alam pikir dan pola ucap yang sudah tidak nyunda, bagaimana nanti kita bisa mencari pemimpin Jawa Barat (sekelas Gubernur, Walikota, Bupati dsb) yang nyunda. Kini pemimpin –khususnya di tatar sunda- lebih ditekankan pada aspek nyantri dan nyakola saja. Padahal, hemat saya, nyantri, nyakola, dan nyunda adalah entitas yang tidak dapat dipisahkan, sebuah tritunggal kepemimpinan.

Pertanyaannya kemudian, setelah segala paparan saya di atas adalah, apakah masih ada orang yang peduli  dengan budaya Sunda? Apakah kepedulian sunda hanya terbatas pada orang yang berlabel budayawan sunda, aktivis ormas kasundaan atau orang desa di wilayah terpencil sana?

Jujur, saya tidak memiliki data-data statistik atau hasil penelitian kaya metode untuk menjawab semua pertanyaan ini. Akan tetapi ada sebuah syair yang membuat saya tergugah untuk menulis tulisan ini, memotivasi saya kembali untuk mengkomunikasikan Sunda kepada dunia, membangunkan saya dari keputusasaan akan hilangnya minat untuk ber-Sunda ria.

***

Sore itu, ketika kota Bandung diguyur hujan lebat, saya berteduh di sebuah kios rokok. Letaknya di Jalan Ciliwung. Pemilik kios berjualan bakso tepat di samping kios rokoknya. Sekilas tidak ada yang aneh dengan gerobak bakso itu. Namun ada sebuah kertas yang menarik saya. Kertas itu ditempel di bagian bawah gerobak. Berisi syair yang ditulis dengan tulisan tangan. Berikut isi syair itu :

Hitam kelam, hiasan langit mencekam

Cakrawala di tengah kota Pasundan.

Teriak menghempas keheningan,

Samar terdengar deru perahu

Pikir memasuki setiap lorong jiwa

Kesenangan, segenggam cemas

Akan hilangnya tradisi tanah lahir,

Kekecewaan menusuk dalam hati

Seorang Budaya. Simbol keserakahan

Di balik topeng-topeng bertahta!

Sudikah engkau wahai anak adam

Melihat semua harapan dan

Kesenangan yang dirampas dari

Tangan-tangan kecil yang menadah?

Titik balik menjelma

Bangkit! Bangkit! Pasundanku..

Syair ini benar-benar membuat saya merenung dan berpikir, sudahkah saya memajukan tanah pasundan? Tidak ingin terkurung dalam pikiran saya sendiri, segera saya tanyakan penulis syair di atas kepada pemilik kios. Sayang, jawabannya tidak tahu. Setahu beliau, penulis adalah seorang wanita, bekerja di cafe sebelah.

Ingin rasanya berbincang dengan penulis syair di atas. Jika memang ia memiliki keprihatinan yang sama dengan saya, berarti saya memiliki alasan untuk tetap peduli terhadap budaya Sunda. Karena saya tidak berjalan sendiri. Banyak tangan-tangan kecil yang peduli dengan keberadaan budaya Sunda namun mereka bersembunyi, tidak muncul dalam pergumulan organisasi-organisasi kebudayaan, perjuangan mereka bersifat lokal, dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga lalu teman-teman terdekat.

Fenomena ini bukanlah hal yang harus disesalkan. Mungkin saja pada tahap berikutnya mereka akan bergerak bersama menuju perubahan. Berorganisasi dan bergotong-royong mengusik nurani orang Sunda yang mulai tidak nyunda.

Hal posotif yang dapat saya simpulkan adalah bawah –seperti syair lagu Imagine karya John Lenon- You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one, I hope someday you’ll join us. Semoga kita semua memiliki kepedulian yang sama terhadap budaya Sunda . Dan mulai mengubah lingkungan sekitar– dengan dimulai dari diri sendiri. Rahayu!

Ferry Fadillah

Bandung, 17 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline