Lihat ke Halaman Asli

Air Terjun Gitgit

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13018035171089419662

Tadi, ketika matahari masih jauh dalam perjalanan menuju peraduannya, aku berjalan menuruni anak tangga yang dikelilingi pemandangan indah di kedua sisi-sisinya. Pohon, semak dan perdu lah yang menjadi pemandangan indah itu. Ketiganya berkolaborasi mencipta pemadangan yang begitu menenangkan hati. Dari kejauhan terdengar gemuruh air yang terhempas jatuh, semakin aku menuruni anak tangga semakin dekat gemuruh itu terdengar.

13018036451066752836

akhirnya, aku menemukan sebuah hal menakjubkan. Sebuah air terjun besar tingggi, dengan airnya yang bening bersih, mencipta sebuah pengalaman keindahan yang memenuhi dimensi fisik dan spiritual sekaligus. Buihnya berhamburan, menampar halus sekelilingnya dan diriku, dan menjadikannya segar dan bersemangat. Dari tempatnya jatuh, sebuah kolam dengan dasar batu, menyala-nyala bak terbakar api biru dari dalamnya. Begitu indah nyala biru itu, menerangi apa yang sekelilingnya tidak terterangi.

Setelah cuku puas, aku pun kembali naik untuk melihat air terjun yang kedua. Sebuah air terjun yang sama tidak kalah indahnya. Kali ini aku mengangkat celana jeans ku hingga paha dan memasuki kolam hasil terjunan air tersebut. Ternyata, segar ! dingginnya merasuk hingga ke sumsum tulang belakang. Walau aura mistis terlukis dari dinding-dinding tebing yang dihiasi tanaman gantung, namun hal itu menjadikan air terjun tersebut, sekali lagi, terlengkapi secara fisik dan spiritual. Aku pun berlama-lama menikmati air di kakiku itu, sesekali mebasuhnya ke lengan dan muka. Memandangi dasarnya yang bening, dan melakukan basuh membasuh yang sama berulang-ulang seolah hendak memindahkan jiwa air terjun itu ke dalam diriku. Ternyata aku baru sadar, bahwa air terjun yang satu ini berbeda, ia kembar, bersama-sama selama berabad-abad mencipta keindahan ini, tanpa ada pertentangan dan perselisihan.

Tidak terasa, raga pun haus akan asupan energi, tubuhku lemas, dan mentari sudah mulai malu berlama-lama di angkasa. Aku menghirup dalam-dalam sekelilingku, memejamkan mata, seolah menyimpan semua memori yang telah aku lihat sedalam-dalamnya ke dalam relung jiwaku. Aku lambaikan tanganku kepada tempat menakjubkan itu, sebagai tanda terima kasih kepadanya. Tangga naik kembali aku susuri, terus keatas, sampai kepada gerbang antara keindahan dan rusaknya perbuatan manusia.

Bali, 27 Maret 2011 Ferry Fadillah




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline