Oleh: Abd Gafur – Sekretariat Direktorat Jenderal
Desentralisasi mengandung makna pelimpahan atau penyerahan sebagian kewenangan atau tugas kepemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Daerah diberikan otonomi atau kebebasan untuk mengatur sebagian kewenangan pemerintahan. Ini dilaksanakan untuk lebih mendekatkan masyarakat di daerah dengan pusat-pusat pemerintahan dengan tujuan untuk mempersingkat birokrasi, sehingga dapat mendekatkan pelayanan umum kepada masyarakat demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah dan juga memperkuat daya saing daerah.
Amandemen kedua UUD 1945 tanggal 18 Agustus 2000 mengubah Pasal 18 menjadi 3 (tiga) pasal baru. Yaitu Pasal 18 yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat, serta Pasal 18A dan Pasal 18B yang masing-masing terdiri dari 2 (dua) ayat. Dalam undang-undang dasar yang baru ini asas desentralisasi menjadi lebih tegas. Ini antara lain terlihat dari pernyataan tegas Pasal 18 ayat (1) yang membagi Negara Kesatuan Republik Indonesia atas daerah-daerah provinsi, dimana daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, dimana tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota tersebut mempunyai pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang.
Hal ini kemudian tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut: UU No. 23 Tahun 2014). Pasal 2 ayat (1) menyebutkan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan kota.” Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan, “Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah.”
Konsep dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 ini adalah pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang dibagi di sini adalah Negara. Bukan Wilayah sebagaimana yang termuat dalam rezim undang-undang pemerintahan daerah pada saat terjadi reformasi yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Negara merupakan sebuah entitas yang menjadi pucuk kekuasaan yang melahirkan kewenangan di suatu wilayah. Sehingga pembagian negara memang seharusnya adalah berarti adalah pembagian kewenangan. Hal ini telah sesuai dengan konsep desentralisasi yang memang mengamanatkan pembagian kewenangan-kewenangan.
Setelah daerah-daerah otonom terbentuk, daerah-daerah otonom itu kembali lagi terpecah sehingga memunculkan daerah-daerah otonom baru. Jika memang dasar pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru tersebut dibangun diatas landasan syarat-syarat yang jelas demi mencapai tujuan awal yaitu memakmurkan daerah, sebenarnya tidak ada permasalahan berarti. Masalah baru muncul manakala terjadi euforia di daerah untuk memisahkan diri dari provinsi/kabupaten induknya dan membentuk daerah otonom baru tanpa memperhatikan hal-hal penting misalnya kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia calon daerah otonom baru tersebut. Dampak negatif pada akhirnya akan dialami oleh rakyat di daerah itu sendiri, pelayanan yang terganggu, kesejahteraan yang tidak membaik, serta munculnya konflik di daerah.
Selain itu, munculnya daerah otonom baru tentu saja membawa dampak lain. Salah satunya adalah dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana sumber-sumber pendanaan untuk menunjang pemerintahan juga dialihkan kepada daerah. Karena kemampuan fiskal daerah tidak sama di semua daerah, dibutuhkan campur tangan pemerintah pusat untuk menyeimbangkan hal tersebut demi suksesnya pelaksanaan otonomi daerah.
Selanjutnya dalam koridor desentralisasi fiskal, salah satu upaya yang ditempuh pemerintah pusat untuk menyeimbangkan kemampuan fiskal antar daerah adalah dengan pelaksanaan konsep perimbangan keuangan dimana Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai salah satu elemen dari dana perimbangan memegang peranan penting dalam neraca keuangan daerah.
Penggelontoran DAU kepada daerah otonom baru sebenarnya tidak menimbulkan masalah yang berarti. Masalah muncul ketika semangat untuk memekarkan diri hanya semata didorong oleh tujuan untuk mendapatkan “bantuan dana” dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan. Dalam tataran ini, pemekaran daerah sudah bergeser dari bentuk awalnya. Pemekaran daerah tidak lagi dipandang sebagai cara untuk mensejahterakan masyarakat di daerah, melainkan hanya sebagai tujuan. Sehingga ketika tujuan itu tercapai (yaitu daerah berhasil dimekarkan), semuanya dianggap selesai.
Disinilah letak tema utama yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan menelaah pengaturan yuridis pengalokasian DAU bagi daerah otonom baru karena; Pertama, terbentuknya daerah otonom baru sudah pasti akan menimbulkan akibat hukum baru salah satunya adalah hak daerah atas alokasi DAU dari APBN, dan; Kedua, formulasi yuridis persyaratan pemekaran daerah maupun pengaturan pengalokasian DAU, sama-sama menjadi titik strategis yang mempengaruhi terbentuknya daerah. Dengan mengetahui kedua hal ini, diharapkan dapat diketemukan titik lemah yang bisa menjadi perbaikan kedepannya untuk semakin meningkatkan kualitas pembentukan daerah. (bersambung ke: Bagian Kedua)
***