Lihat ke Halaman Asli

Menariknya Menulis Cernak (Cerita Anak)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Dalam ranah tulis-menulis, cerita anak adalah yang tersulit dan di ujung ekstremnya yang termudah adalah skripsi..." (YB. Mangunwijaya-Sastrawan Besar Indonesia)

Akhir-akhir ini saya lagi gandrung menulis cerita anak. Entah kenapa ketika tangan saya menari-nari di atas laptop lalu menuliskannya cerita itu tak pernah berhenti. Walau saya tahu cerita anak yang saya buat belum begitu bagus dan memuaskan. Namun ketika saya menuliskannya ke dalam bentuk cerita atau karangan hal itu mempunyai kans (daya tarik) sendiri. Entah mengapa saya juga tak tahu!

Mungkin saya teringat masa kanak-kanak saya dulu? Bisa jadi! Atau, saya hanya meramaikan saja dalam dunia tulis-menulis cerita anak? Bisa iya, bisa juga tidak! Karena yang saya ketahui betapa kurangnya dan tidak banyaknya penulis cerita anak sekarang ini. Walau nyata-nyata sudah jelas di setiap media surat kabar, entah itu majalah maupun koran mempunyai "bonus" untuk para penulis cerita anak itu sendiri baik di setiap sisipan lembar dan halaman anak. Tapi betapa sulitnya mencari penulis cerita anak yang benar-benar mumpuni.

Memang menulis cerita anak agak berbeda dari sebelumnya bahkan ada-yang mengatakan bahwa menulis cerita anak itu sulit. Halnya yang dikatakan oleh YB. Mangunwijaya-Sastrawan Besar Indonesia dalam kutipannya di atas.

Sebab selain menulis sebagai penulis cerita anak bukan hanya sekedar menulis cerita atau karangan "berpesan moral" tetapi juga mengingatkan kepada generasi anak bangsa saat ini untuk penting membiasakan membaca sejak dini (kecil). Maka dari itulah ini adalah tantangan bagi seorang penulis cerita anak selain menuliskan kebentuk cerita atau karangan juga harus mengupayakan untuk bagi generasi penerus untuk selalu mencintai membaca khususnya buku-buku dan majalah anak-anak.

Halnya saya saat ini ketika saya menulis cerita anak ke dalam tulisan juga mempunyai "resiko" beban moral ketika nanti menjadi sebuah cerita atau karangan. Apakah cerita atau karangan saya itu memiliki pesan moral atau hanya saklek hanya sebuah tulisan saja. Tidak mempengaruhi pembaca dalam hal ini pembaca anak-anak.

Seperti apa yang dikatakan Arswendo Atmowiloto, ia memberikan pesan moral kepada penulis cerita anak semua seperti ini:

Cerita untuk anak juga dan juga remaja, sebaiknya mengambil titik bijak dunia mereka sendiri.Di mana pun dan bagaimanapun kisah berlangsung, proses itu berada dalam diri si anak sebagai pelaku utama.

Sebuah cerita yang menggambarkan si anak mencuri mangga, bukanlah diselesaikan dengan nasihat dari orangtua, Pak Guru atau Pak Erte, bukan dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa "mencuri dihukum Tuhan". Itu hanya merupakan bagian dari perjalanan si anak. Bagaimana si anak menyadari perbuatannya, putusan yang diambil, adalah mutlak berasal dari perjalanannya. Dengan cara seperti ini lebih jelas sasarannya. Dan bukan pendekatan untuk menggurui. Melainkan mengembangkan sikap pribadi, sikap, dalam menghadapi persoalan sehari-hari yang sejenis.

Jadi jika dikatakan sulit dan tidak mudah menulis cerita anak memang itu tidak bisa dipungkuri. Toh, saya saja beberapa kali mengirimkan ke redaksi koran Kompas Anak sulitnya minta ampun hingga timbul ada keputusasaan. Bukan! Bukan, karena tulisan saya jelek atau tidak bagus, terkadang ada pula yang menurut saya ketinggalan kereta. Maksudnya, karena sering saya menerima surat balasan dari sang redaktur bahwa cerita anak saya itu-tema yang tengahkan sudah sering dimuat atau dipublish oleh penulis lain. Walau ada juga sebagian membahas bahasa yang saya pakai terlalu baku dan tidak luwes. Tapi biar bagaimana pun saya anggap itu sebagai sebuah tantangan hingga saat ini. Apalagi surat balasan yang saya terima ternyata ampuhnya juga. Saya bisa mengoreksi cerita-cerita anak saya yang dikembalikan itu.

Karena apa? Dengan surat balasan itu saya bisa mengetahui di mana letak kesalahan saya. Hingga akhirnya saya tahu letak kelemahan dan kekurangan saya-dalam cerita-cerita anak yang saya tulis. Lalu saya pelajari dan kotak-katik lagi terus edit ulang kembali. Dan saya pun tahu juga dimana kekurangan dan kelemahannya. Bukan hanya itu saja saya pun menjadi tambah wawasan dan pengetahuan dari kekurangan dan kelemahan itu. Dan itu pun saya buktikan juga!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline