Lihat ke Halaman Asli

Menulis dengan Hati

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Selesai membaca tulisan Neny Silvana bertajuk “Penulis Curhat Terlihat Kurang Smart!!” aku jadi terpikir untuk mengekspresikan lebih lanjut gagasan-gagasan dia tentang dunia kepenulisan. Dalam tulisan Neny ini, yang hendak dia komentari sebetulnya tentang masalah menulis hanya sebatas curhat. Dengan lembut dan santun dia berusaha menolak anggapan orang yang mengatakan bahwa curhat atau menulis hal-hal keseharian dalam tulisan itu tidak berbobot atau mempunyai muatan intelektualitas.

Bagi saya menulis itu membutuhkan perenungan khusus yang tidak saja ngalur-ngidul seperti ngomong. Menulis membutuhkan kontemplasi, perenungan, rasionalisasi dengan kerangka logika yang memadai. Artinya, tak mungkin orang menulis tanpa alur logika yang jelas sehingga tulisannya kacau dan mengacaukan.

Soal menulis itu mempunyai hirarki kualitas atau tidak, itu tergantung perspektif orang dan sangat ditentukan oleh cara pandang seseorang di dalam menilai sesuatu. Saya tak akan bicara soal madzhab pemikiran yang jelimet. Saya cuma ingin mengatakan bahwa ekspresi seseorang dalam bentuk tulisan harus dihargai dan berbagai dimensi kehidupan yang disorot sudah pasti menebar manfaat. Mengecilkan peran dan manfaat suatu isu persoalan juga bukan sesuatu yang bijak. Sebab, segala persoalan juga terkait dan saling berhubungan. Isu tentang masakan akan sangat menopang peradaban besar karena masakan menentukan sekali kehidupan seseorang. Begitu juga dengan yang lainnya. Inilah yang disebut keberagaman. Menyeragamkan satu pemikiran, satu bentuk tulisan sebagai yang terbaik dan menabaikan yang lain, itu sesuatu yang kacau dan mengurangi nilai keberagaman itu sendiri.

Meski demikian, tulisan itu harus mempunyai dimensi khusus yang harus dipikirkan secara matang oleh setiap penulis. Apapun saja bisa dibincang dalam tulisan, tetapi harus ada sesuatu yang diasumsikan oleh penulis bahwa ada manfaat yang dapat ditarik dari tulisan itu oleh pembaca. Bagi orang yang senang memasak misalnya, ia bisa menulis yang berkaitan dengan dunia masakan. Mengungkap sesuatu agar pembaca mendapat info tentang masakan.

Bagi orang yang senang bola, tidak masalah jika ia menulis tulisan tentang bola sebanyak mungkin. Namun yang harus ditekankan, manfaat dalam tulisan itu harus ada. Saya orang yang percaya bahwa setiap disiplin keilmuan sama kedudukannya. Artinya, tak ada yang lebih tinggi nilainya dibanding yang lain. Semua saling melengkapi, saling menopang.

Yang hendak saya tegaskan dalam tulisan ini, menulis dengan hati itu syarat penting dalam dunia kepenulisan agar tak ada beban di dalam menulis. Menulis bukan menjadi beban, tapi semacam panggilan kemanusiaan untuk berbagi pengetahun, berbagi pengalaman dengan yang lain. Menulis dengan hati akan membuat dunia terasa lebih indah, tanpa kebohongan dan tanpa paksaan. Dalam konteks ini, penulis tidak diposisikan sebagai subyek yang terpenjara oleh beban. Tapi menjadi pencerah karena ia mempunyai kebebasan untuk menulis apa saja sesuai panggilan nuraninya.

Sangat berbeda menulis dengan beban dan menulis dengan nurani yang penuh kebebasan. Saya tak akan berapologi, biarkan para penulis yang membuktikannya sendiri. Tapi pengalaman saya, aku menulis dengan beban dan dengan nurani yang penuh kebebasan, rasanya+hasilnya sangat beda.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline