Tiba saatnya untuk mengulas beberapa fenomena yang terjadi pada industri musik Indonesia sepanjang dekade 80-an. Tentu saja artikel ini tidak akan membahas secara detail mengenai segala pernak pernik yang mewarnai perjalanan musik Indonesia masa itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh musik asing, terutama Amerika, amat menonjol dalam sejarah musik periode ini. Tengoklah macam band-band dan artis yang mendapat julukan sebagai epigon alias versi Indonesia dari artis yang saat itu sedang populer di belahan sana. [caption id="attachment_139219" align="alignright" width="211" caption="Rico Korompis di cover kaset Acid Speed Band (sumber : cdindonesia.multiply.com)"][/caption] Ebiet G. Ade Awal periode 1980-an seorang pemuda kerempeng berkacamata mengubah peta industri musik Indonesia dengan lagu-lagu berlirik puitis dan warna musik yang berbeda. Ebiet G. Ade selalu tampil duduk dengan gitarnya meneriakkan tema-tema sosial. Banyak yang beranggapan Ebiet mengambil jalur bermusik seperti halnya Bob Dylan, lengkap dengan genre folk-nya. Ungkapan yang masih sering kita dengar "mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang", adalah comotan dari lirik lagunya yang berjudul Berita Kepada Kawan. Lagu yang menjadi hit pada awal 80-an ini masuk dalam album Ebiet yang berjudul Camelia II dan dirilis tahun 1979. Ebiet G. Ade menjadi aset musik Indonesia hingga saat ini dan belum ada yang mampu menggantikan posisinya. Orisinalitas Ebiet membuatnya banyak memiliki pengekor, baik dari cara bermusik maupun bernyanyinya. Pop Cengeng vs Pop Kreatif Istilah lagu cengeng pertama 'diperkenalkan' oleh Menteri Penerangan Harmoko sebagai sentilan atas maraknya lagu-lagu yang dianggap melemahkan mental. Lagu yang ketiban apes menjadi 'sample' atas kecengengannya adalah Hati Yang Luka, ciptaan Obbie Messakh yang dinyanyikan oleh Betharia Sonata. Temanya sendiri adalah curhat seorang istri yang mendapat perlakuan kasar suaminya dan minta dipulangkan ke rumah orangtuanya. Sekarang mungkin populer dengan singkatan KDRT, kali ya. Memang pada saat itu, musik pop dengan tema dan nuansa yang sejenis dengan Hati Yang Luka merajai industri musik Indonesia. Label yang menaungi banyak pelantun 'lagu cengeng' saat itu adalah JK Records. JK singkatan dari Judhi Kristianto, pemilik label rekaman itu. Adapun pencipta lagu yang paling produktif menciptakan lagu-lagu 'cengeng' adalah Pance Pondaag dan Obbie Messakh. Penyanyi, yang kebanyakan wanita, di antaranya Dian Piesesha, Meriem Bellina, Betharia Sonata, Ria Angelina, Nia Daniaty dan Heidi Diana. Di saat booming pop jenis 'cengeng' ini, sebagian media saat itu seolah membenturkan pop yang satu ini dengan jenis pop lain yang disebut pop kreatif. Sebenarnya saya agak kurang setuju dengan sebutan kreatif. Seakan-akan musik pop versi Pance Pondaag dan Obbie Messakh ini bukanlah produk hasil kreatifitas penciptanya. Menurut saya, apapun bentuk sebuah seni, itu adalah hasil dari buah kreatifitas penciptanya. [caption id="attachment_140755" align="alignleft" width="192" caption="Salah satu bidadari JK Records, Ria Angelina (sumber : hurek.blogspot.com)"][/caption] Pada kelompok musisi yang disebut pop kreatif ini tersebutlah nama-nama seperti Fariz R.M, Dian Pramana Poetra, Deddy Dhukun, Dodo Zakaria, Chrisye dan Vina Panduwinata. Memang dibandingkan jenis pop yang disebut cengeng, pop yang diusung para musisi dan penyanyi di atas cenderung lebih variatif ditilik dari tema maupun aransemennya. Lalu apakah itu yang menyebabkan pop ini disebut pop kreatif? Nyanyi Keroyokan Seolah mendapat inspirasi dari nyanyi keroyokan yang dipelopori USA for Africa dengan We Are The World-nya dan Bob Geldof dengan Band Aid yang menyanyikan Do They Know It's Christmas?, para artis dan musisi Indonesia ikut membuat proyek-proyek amal dengan bernyanyi bersama. Di antaranya album Suara Persaudaraan yang didukung oleh vokalis dan musisi seperti James F. Sundah, Adjie Sutama, Addie M.S., Utha Likumahuwa, Tika Bisono dan banyak lagi. [caption id="attachment_140750" align="alignright" width="187" caption="Cover album Suara Persaudaraan (sumber : indolawas.blogspot.com)"][/caption] Namun berikutnya seperti bukan lagi berorientasi amal, tapi cenderung pada aspek bisnis. Muncullah kelompok vokal Rumpies (Malyda, Trie Utami, Vina Panduwinata, Atiek CB) dan Kelompok 7 Bintang (Deddy Dhukun, Malyda, Mus Mujiono, Dian Pramana Poetra, Trie Utami, Atiek CB., Yopie Latul). Untuk kelompok yang terakhir, pada tahun 2006 lalu masih menunjukkan eksistensinya dengan menggalang dana bagi korban gempa Jogja. Epigon Grup Dunia Sepanjang periode 80-an publik musik Indonesia akrab dengan band-band epigon yang menjadi imitator dari grup besar dunia. Kalangan penggemar Rolling Stones tentu tak asing dengan Acid Speed Band yang vokalisnya bertampang mirip Mick Jagger. Sang vokalis, Rico Korompis, saat ini sudah meninggalkan dunia musik dan sibuk dengan statusnya sebagai karyawan perusahaan minyak lepas pantai. Acid Speed Band sempat memiliki album sendiri berjudul Julia pada 1989 yang ternyata gagal di pasaran. Hingga saat ini Acid Speed Band masih aktif bermusik, walaupun tak produktif mengeluarkan albumnya sendiri. [caption id="attachment_140591" align="alignleft" width="194" caption="Freddy Tamaela (sumber : musiklawas.blogspot.com)"][/caption] Genesis juga memiliki impersonatornya di Indonesia, yaitu Cocpit Band. Band ini setia membawakan lagu-lagu Genesis dan Phil Collins. Vokalisnya yang kerap berkacamata ala John Lennon, Freddy Tamaela, juga bersolo karir dengan menelurkan dua buah album. Freddy Tamaela sukses menampilkan karakter baik Peter Gabriel maupun Phil Collins. Wow, susah lho menggabungkan dua karakter individu yang berbeda. Saat ini untuk menggantikan posisi Freddy yang telah wafat, Cocpit telah memiliki vokalis yang juga memiliki warna vokal mirip Phil Collins, sekaligus Peter Gabriel, yaitu Ari Safriadi. The Beatles tentu saja menjadi inspirasi bagi banyak musisi, termasuk di Indonesia. Bharata Band bahkan hanya setahun sejak kelahiran The Beatles telah berkeyakinan untuk menjalani karir sebagai epigon dari grup musik dahsyat asal Liverpool ini. Formasinya banyak berubah sejak tahun 1963, tapi makin solid pada 1984 dengan personil yang terdiri dari Jelly Tobing, Toto Bharata, Harrie Bharata dan Abadi Soesman. Sayangnya karena hanya menjadi bayang-bayang grup musik besar dunia, ketiga grup ini tidak terlalu sukses dengan album-albumnya. Mereka disukai justru karena membawakan lagu orang lain dan bukan karyanya sendiri. KLa Project Yang Tak Tersandingi Pada tahun 1988, sebuah album kompilasi dirilis oleh Team Records bertitel 10 Bintang Nusantara. Album ini menjadi fenomenal karena berisi 10 lagu berkualitas dari artis yang kebanyakan masih baru dan beberapa di antaranya (nanti) sukses di industri musik tanah air. Sebutlah Indonesia 6 yang keyboardist-nya, Yani Danuwijaya, saat masih berusia 14 tahun sudah berprestasi di ajang Yamaha Light Music Contest. Indonesia 6 yang besutan tangan dingin Elfa Secioria ini menempatkan lagu berjudul Fatamorgana pada album ini. [caption id="attachment_140743" align="alignright" width="189" caption="Andre Hehanussa pastinya yang berkumis (sumber : indolawas.blogspot.com)"][/caption] Selain itu juga ada Andre Hehanussa yang masih bergabung dengan Katara Singers membawakan lagu berjudul Ceria yang khas Katara. Mereka sempat menelurkan satu album yang menjadi salah satu album favorit saya sepanjang masa. Saat berkesempatan ngobrol dengan Andre saya sempat menanyakan apakah ada rencana Katara Singers bereuni. Menurut Andre sih sulit karena personil wanitanya, Nana dan Rika, sudah sibuk dengan rumah tangga mereka. Sayang sekali. Nama lain tentu saja KLa Project yang muncul dengan lagu andalannya Tentang Kita. Sebuah terobosan jitu telah ditorehkan oleh 4 anak muda penuh energi ini, yaitu menggabungkan musik pop berbalut chord-chord melodius yang mudah dicerna dengan lirik puitis, khas Katon Bagaskara. Ketiga personil lainnya adalah Lilo Radjadin, Adi Adrian dan Ari Burhani. Sayangnya Ari Burhani hengkang selepas KLa Project meluncurkan album ketiganya. Siapa yang tidak mengenal KLa Project dan musiknya kala itu. KLa seakan menyuntikkan darah segar bagi perkembangan musik Indonesia. KLa lalu menjadi ikon musik pop yang hingga kini nampaknya akan menjadi legenda. Belum ada yang mampu menyamai gaya bermusik maupun cita rasa yang ditawarkan oleh KLa. Saya melihat kecenderungan hal yang sama ada pada Dewa 19. Dengan gayanya sendiri, Ahmad Dhani meracik satu bentuk dan ciri wanci tersendiri bagi Dewa 19. Kedua grup musik ini masih berjalan solo di jalurnya masing-masing tanpa ada yang mampu menyandingnya. [caption id="attachment_140744" align="alignleft" width="300" caption="KLa Project formasi awal (sumber : litefmjakarta.com)"][/caption] Pada tahun 2001, Lilo memutuskan keluar dari KLa Project. Padahal sebenarnya ketiga personil ini adalah ruh dari KLa Project. Untuk melengkapi kepincangan itu, Katon dan Adi menarik beberapa personil baru dan berusaha mengubah image. Mereka memilih untuk mengganti nama menjadi NuKLa yang berarti KLa yang baru. Tapi apapun yang dilakukan, kepincangan itu tak mampu tertutupi. Hingga kemudian tampaknya Lilo menyadari bahwa tanpanya KLa tak mampu berjalan sempurna. Mereka kembali bergabung dengan meluncurkan album berjudul KLa Returns tahun 2009 kemarin. Nah, kelar sudah saya memenuhi janji. Mudah-mudahan memuaskan. Yang saya tulis di atas ini sekedar berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang musik Indonesia sepanjang yang saya pahami. Kalau ada yang ketinggalan mengenai milestone industri musik Indonesia pada dekade 80-an, bisa komentar di bawah kok. Saya tunggu komentarnya, ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H