Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Jangan Main Minta Hapus Tulisan di Kompasiana!

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TNI/Kompasiana (Kompas Images/Kristianto Purnomo)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="TNI/Kompasiana (Kompas Images/Kristianto Purnomo)"][/caption] Bagi Admin Kompasiana, menghapus satu tulisan --baik itu berita, opini maupun fiksi karena ditengarai melanggar tata-tertib-- adalah pekerjaan berat, meski penghapusan itu sebelumnya didahului pemberitahuan kepada si penulisnya secara manual. Lebih berat ketika ada satu atau beberapa pihak yang meminta satu tulisan dihapus dari Kompasiana meskipun tidak melanggar tata-tertib. Ada berbagai alasan mengapa ada saja orang atau beberapa pihak meminta satu tulisan dihapus (remove) dari Kompasiana. Alasan paling umum adalah dianggap mendiskreditkan seseorang, menghina seseorang, memfitnah orang, mempertentangkan SARA, menyerang kehormatan atasan atau komandan dan menyerang nama baik keluarga, dan berbagai alasan lainnya. Terhadap permintaan itu, Admin biasanya tidak langsung mengiyakan, melainkan meneliti terlebih dahulu apakah benar sebuah tulisan melanggar tata-tertib atau cuma subjektivitas si pemohon saja. Hal cukup mengejutkan saya alami saat sedang bertugas, Rabu pagi, 4 Juni 2014, saat ponsel saya berdering. Si penelepon ternyata orang Puspen TNI (namanya minta tidak disebutkan) yang ingin mengomentari satu tulisan Kompasiner bernama Erika Avalokita. Pada hari Selasa, 3 Juni 2014, penulis warga itu menayangkan satu artikel pendek berjudul 10 Juni Presiden akan Copot Panglima TNI atau KSAD. Sebuah tulisan spekulatif  sekaligus provokatif! Saya katakan "cukup mengejutkan" karena pihak Puspen tidak main minta hapus tulisan, melainkan hanya sekadar ingin menanggapi tulisan itu tetapi tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Selain itu, Puspen TNI meminta nomor kontak atau alamat surat elektronik si penulis dengan alasan ingin menanggapi langsung. Tentu saja sebagai admin saya tidak bisa memberikan identitas penulis kecuali yang tertera sebagai keterangan yang dibuat penulisnya sendiri. Kepada pihak Puspen TNI saya sarankan untuk berkomunikasi langsung melalui fitur "Kirim Pesan" di Kompasiana. "Apakah memungkinkan jika Kapuspen mengklarifikasi langsung tulisan itu, bagaimana caranya?" tanya orang Puspen TNI lagi. Yang dimaksud Kapuspen tidak lain Kepala Pusat Penerangan TNI yang kini dijabat Mayor Jenderal Fuad Basya. Saya bertanya apakah Mayjen Fuad ingin menulis klarifikasi itu atau langsung berbicara dengan saya, yang kemudian dijawab orang Puspen, "Saya kasih Anda nomor HP Kapuspen TNI dan silakan berkomunikasi!" Setelah nomor HP Mayjen Fuad Basya didapat, saya menghubunginya segera. Rupanya dia sudah tahu dengan hanya menyebut "Kompasiana" saja. "O ya, saya ingin memberikan klarifikasi atas tulisan warga di Kompasiana," katanya dari seberang. Saya kemudian menjelaskan klarifikasinya akan saya catat untuk kemudian dijadikan berita di Kompas.com. Mayjen Fuad Basya sepakat. Maka bicaralah sang jenderal bintang dua itu dengan cepat, saya menyimak, sesekali bertanya, dan lebih banyak mencatat. Hasil dari apa yang saya kerjakan itu menjadi berita yang saya beri judul TNI Telusuri Perwira Tinggi Yang Dukung Salah Satu Capres. Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah; Pertama, seorang penulis warga biasa di Kompasiana pun bisa "mencuri" perhatian sebuah institusi besar dan terhormat dalam hal ini Markas Besar Tentara Nasional Indonesia melalui Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Fuad Basya. Tulisan warga dianggap sebagai informasi atau katakanlah berita sebagaimana media arus utama muat atau tayangkan, yang layak mendapat hak jawab. Kedua, TNI sebagai sebuah insitusi yang lekat dengan citra "komando", "perintah", dan "otoriter" itu ternyata sangat demokratis ketika menghadapi tulisan warga yang berkategori "sangat panas" itu. Ia tidak asal main minta tulisan diberangus atau dihapus, melainkan menjelaskan duduknya perkara persoalan serta sikap TNI terhadap apa yang ditulis oleh penulis warga Kompasiana itu. TNI ingin menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi atas apa yang tertulis agar masyarakat (pembaca) mendapat informasi yang seimbang. Sebuah upaya dan cara elegan yang saya apresiasi. Ketiga, apa yang ditempuh Puspen TNI terhadap satu tulisan warga Kompasiana dengan memberi kesempatan admin berkomunikasi langsung dengan Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya sebagai sebuah "terobosan" dalam dunia media sosial dalam hal ini citizen journalism. Penulis warga tidak harus menulis dengan cara bombastis, sarkastis atau nyinyir. Cukup menyampaikan informasi faktual dan opini pribadi, asalkan dilakukan dengan semangat berbagi dan berdiskusi, pesan akan sampai dengan sendirinya. Warga juga tidak harus takut menulis dan beropini, toh dalam sebuah negara demokratis opini berbalas opini adalah hal yang lumrah, dan Kompasiana sejujurnya lahir untuk menampung dialektika warga seperti itu. Terus terang, saya salut atas sikap TNI sekarang ini dalam menanggapi satu berita atau bahkan tulisan warga di Kompasiana. Institusi ini sama sekali tidak menunjukkan "kegarangannya" sebagaimana yang saya alami pada masa Presiden Soeharto berkuasa. Jangankan Kapuspen ABRI (saat itu) yang meminta satu peristiwa (menyangkut keamanan negara atau kepentingan Soeharto dan keluarganya) untuk tidak diberitakan, bahkan Komandan Kodim pun bisa memerintahkan sebuah institusi pers ternama untuk tidak memuat satu berita tertentu yang melibatkan ABRI atau dianggap mengganggu kepentingan penguasa! Bahwa TNI yang ternyata menunjukkan sikap "demokratis"-nya terhadap satu tulisan warga, bukan terjadi sekali ini saja. Dua tahun sebelumnya, Kompasiana pernah kedatangan beberapa tamu dari TNI Angkatan Udara yang menanyakan sebuah artikel yang ditulis Putra Angkasa. Dari namanya saya paham bahwa itu pseudonym alias nama samaran di Kompasiana. Ia memberitakan, tepatnya membocorkan, apa yang terjadi di institusinya dengan judul Skandal Korupsi di Tubuh Militer, Kenapa Sulit Diungkap? Saya berpikir, Putra Angkasa yang menulis satu-satunya artikel adalah seorang whistle blower yang mengungkapkan apa yang terjadi di lembaganya. Lagi-lagi yang membuat saya tercengang adalah, orang-orang militer berseragam lengkap yang mendatangi Kompasiana dan saya temui itu bukan untuk meminta admin Kompasiana mencabut tulisan itu, atau lebih sangar lagi mengancam akan memperkarakan Kompasiana jika tulisan tidak dihapus, melainkan sekadar ingin tahu bagaimana caranya menjawab atau menanggapi yang dibuat akun anonim itu. Sampai sekarang tulisan itu masih ada dan tak pernah TNI memintanya untuk dihapus! Semoga cara yang ditempuh TNI dalam menanggapi tulisan warga di Kompasiana bisa ditiru oleh institusi lainnya, baik yang diwakili pusat penerangan, pejabat Humas sebuah departemen pemerintah, PR sebuah perusahaan swasta, atau oleh orang-perorangan. Artinya, jangan main minta sebuah tulisan dihapus dari Kompasiana, melainkan dihadapi dan ditanggapi dengan tulisan/penjelasan serupa secara proporsional. Dengan cara seperti ini, dialektika dan fungsi Kompasiana sebagai media literasi warga menemui bentuk yang sebenarnya. Palmerah Barat, 3 Juni 2014 ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline