Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Ya Allah, Beri Hamba Kesempatan di Tahun Depan

Diperbarui: 27 Mei 2024   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya diapit teman-teman semasa kuliah (Foto: Istimewa)

Ahad 12 Mei 2024, ada pertemuan kecil di kediaman rekan alumni Fikom 1985, Tatat Rahmita Utami. Disebut pertemuan kecil, karena hanya 15 persen saja hadir atau 38 orang dari seluruh 250 alumni yang pernah ada. Disebut pernah ada, karena 10 persen dari kami, yakni sekitar 25 orang, telah berpulang. Bagi yang pernah membaca buku Annemarie Schimmel tentang angka-angka, ada hal unik dan menarik dari "pesan" tersembunyi di balik angka-angka ini.

Tetapi saya tidak sedang berhasrat membahas keunikan angka, melainkan tercenung sejenak saat kami bertemu, guyub setelah 40 tahun berinteraksi di Kampus Sekeloa, kampus "kandang japati" di mana Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad berdiri. Di sana buku dan asmara saling berkelindan, main mata dan mengejar mata kuliah sudah menjadi perjuangan sehari-hari. Setelah 40 tahun berlalu, kami masih ada.

Kami sibuk berfoto, tak mau melewatkan momen ini. Seluruh yang hadir berfoto masal, tapi juga difoto perjurusan (jurnalistik, humas, penerangan dan perpustakaan). Ya, di sini saya tercenung sejenak: inikah foto terakhir saya bersama mereka?

Bukan perasaan melow atau hati sedang galau, tetapi "Memento Mori" itu yang selalu saya ingat. Entah sudah berapa kali saya menulis tentang "mengingat kematian" ini dengan judul yang sama. Tetapi niscaya, lewat tulisan ini saya tidak sedang menakut-nakuti atau sengaja mendorong teman-teman memasuki kabut kesenduan yang menyesakkan dada. Saya ingin mengajak merenung, bahwa dengan kebersamaan yang membahagiakan itu sedang menghitung hari.

Dengan  mengingat kematian, bukan berarti saya mengajak berani mati. Sebaliknya, saya mengajak rekan-rekan semua untuk berani hidup. Mengapa, karena hidup sebagai anugerah paling berharga masih kita nikmati. Dengan hidup, kita tidak boleh berhenti berjuang. Dengan kata lain, berjuanglah selagi menghitung hari

Mati itu kehendak Ilahi, rahasia yang bukan domain manusia. Yakinlah, Allah tidak mengajari umatnya mati, tetapi sekadar mengingatkan tentang kematian yang menjadi hak seluruh makhluk-Nya. Sebaliknya, Tuhan mengajari kita untuk tetap hidup, berjuang, berusaha, bertahan, lalu mensyukuri kesempatan yang masih diberikan. 

Bahwa mati di tangan Tuhan, ya, itu benar. Allah yang memberi kehidupan, Dia pulalah yang mengambilnya kemudian. Demikian "permainan" semesta diciptakan. Manusia tinggal mengikuti aturan kehidupan itu secara semestinya. "Teu daya teu upaya", kata orang Sunda tentang kematian.

Kepada siapa kita belajar untuk berani hidup? Kepada siapapun, kepada semua makhluk hidup yang ada di sekeliling kita. Jangan anggap sepele kucing, sekali-kali kepadanya kita harus belajar untuk berani hidup.

Suatu kali saya makan bubur "cipang" di Jalan Raya Jombang. Cipang adalah Cirebon-Padang, bubur enak yang memang beda dengan bubur pada umumnya. Saat saya makan bubur berdua mantan pacar, di sana sudah menunggu seekor kucing belang hitam-putih. Hamil tua. 

Si kucing hamil itu pun merengek minta makan. Saya berpikir, bagaimana mungkin saya bisa memberi dia makan, wong yang saya makan bubur dengan suir daging ayam basa-basi alakadarnya. Saya pikir kucing ini kurang cerdas, kenapa tidak nongkrong di warteg atau ayam geprek saja yang pasti banyak menyisakan tulang atau sisa-sisa makanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline