Beliau adalah guru bahasa Indonesia saya saat menempuh pendidikan jurnalistik di harian Kompas. Sebelum saya benar-benar diterjunkan sebagai wartawan yang meliput peristiwa-peristiwa di lapangan, Kompas menghadirkan guru-guru top.
Beliau bukan sekedar guru bahasa Indonesia saya, tetap guru bahasa Indonesia rakyat Indonesia. Mengapa saya katakan demikian, karena beliau menyampaikan pelajaran bahasa Indonesia secara luas di televisi Republik Indonesia, satu-satunya stasiun televisi pemerintah yang ada saat itu.
Ketika beliau menyampaikan perihal bahasa Indonesia di televisi tersebut, beliau otomatis menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia khususnya yang menyukai bahasa Indonesia. Pada saat itu hanya dua pilihan; yang tidak suka pelajaran bahasa Indonesia bisa mematikan televisinya atau mengecilkan volume suaranya agar tidak mendengar wejangannya. Tapi bagi yang menyukai pelajaran bahasa Indonesia, maka acara itu akan mereka ikuti sampai kalimat terakhir.
Sebagai koran terkemuka dan terbesar di Asia Tenggara saat itu, harian Kompas benar-benar mendidik calon wartawannya sedemikian ketat dilihat dari durasi pendidikan yang mencapai satu tahun penuh, di mana enam bulan pertama teori-teori jurnalistik dan enam bulan berikutnya liputan di lapangan. Semua hasil liputan kemudian dijadikan bahan pertimbangan oleh para pimpinan apakah seorang calon wartawan yang menempuh pendidikan layak menjadi wartawan Kompas seterusnya atau "out".
Maka untuk mencetak wartawan-wartawan berkualitas, Kompas kemudian menghadirkan guru-guru yang juga sangat berkualitas, salah satunya adalah guru bahasa Indonesia yang paling terkenal, yaitu Jusuf Sjarif Badudu atau lebih dikenal dengan panggilan Jus Badudu. Jujur saya saat itu merasa surprise apakah benar yang saya hadapi itu, orang yang berdiri di depan kelas itu adalah sosok guri yang biasa saya ikuti di TVRI.
Meski pada tahun 1987 atau tujuh tahun sebelum saya menempuh pendidikan jurnalistik Kompas di tahun 1994, saat saya magang menjadi wartawan mingguan Eksponen yang terbit di Yogyakarta, saya sempat mewawancainya secara khusus di kediamannya di kawasan Dago Atas, Bandung Utara. Hasil wawancara berupa format tanya jawab itu kemudian dimuat di mingguan tersebut sampai dua halaman penuh.
Ada kebanggaan tersendiri saat tulisan itu dimuat dan yang mewawancarai narasumber adalah saya sendiri. Barangkali itulah portofolio pertama saya sebagai seorang wartawan magang di lapangan meski kemudian saya benar-benar menjadi wartawan tujuh tahun kemudian.
Jus badudu saat menjelaskan bahasa Indonesia demikian berwibawa dan penuh percaya diri. Beliau lebih mirip thesaurus berjalan di mana apa saja perihal bahasa Indonesia yang ditanyakan akan dijawabnya tanpa melihat buku teks. Saat itu sebagai peserta pendidikan jurnalistik wartawan Kompas saya dibekali sejumlah buku karya beliau yang wajib saya baca, tentu saja tentang bahasa Indonesia.
Ada hal menarik tentang Jus Badudu yang merupakan guru besar bahasa Indonesia di Universitas Padjadjaran. Saat tidak lagi menyampaikan pelajaran bahasa Indonesia di TVRI, rumor menyebutkan bahwa beliau dilarang tampil lagi di TVRI karena Presiden Soeharto tersinggung, tidak suka dengan guru besar bahasa ini yang sering mengkritik ucapan "kan" yang diucapkan "ken" oleh Soeharo. "Mengingatkan" jadi "mengingken" dan bagi beliau tentu saja ucapan Soeharto itu tidak memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Saat hal ini saya tanyakan langsung kepada beliau di kala rehat, Jus Badudu tertawa lebar. "Kamu ini ada-ada saja," katanya. Ketika saya ingatkan peristiwa tujuh tahun sebelumnya di mana saya sempat mengunjungi kediamannya untuk sebuah wawancara dan hasil wawancara di mingguan Eksponen itu kemudian saya kirimkan ke rumahnya, beliau masih mengingatnya dengan baik. "Oh jadi kamu toh yang mewawancarai saya? Kok bisa ada di sini?" katanya dengan nada bertanya.
Saya pun menjelaskan panjang lebar tentang proses saya berada di harian Kompas, termasuk proses perekrutan yang tidak biasa, yaitu melalui jalur rekrutmen internal. Jus Badudu tersenyum.