Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Roy-Jeje dan Simulakra

Diperbarui: 27 Juli 2022   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roy-Jeje tampil apa adanya tanpa berpretensi menjadi kelas penikmat atau sedang memasuki dunia simulasi  (instagram.com/jejelinces)

Tiba-tiba penciuman jurnalisme busana Jepang bekerja, mereka mengendus sesuatu yang menarik di Jakarta. Berita. Bukan berita tentang peristiwa besar, melainkan sekadar fenomena yang tidak biasa. Karenanya memiliki nilai berita juga: uniqueness.

Jurnalis negeri matahari terbit itu membaui adanya riak sosial yang tidak biasa, yang diperagakan anak-anak muda luar kota Jakarta lewat CFW, Citayam Fashion Week.

Belum sampai gerakan sih, tetapi riak itu melengkapi dirinya dengan ikon ciptaan yang sengaja dimunculkan lewat pasangan Roy-Jeje.

Roy disosokkan sebagai anak muda ganteng yang digilai-gilai lawan jenis. Tongkrongan Roy tidak sama dengan Roy Marten, pemuda tampan idaman kaum hawa di tahun 1970-an, juga bukan sosok "Si Boy" yang sudah cakep tajir pula, yang disosokkan lewat sebuah film pada masanya.

Roy van Citayam ini sesungguhnya anak tanggung yang tampil malu-malu dengan busana ala kadarnya. Tapi tubuh Roy mengandung lem, buktinya Jeje sampai lengket begitu.

Diorkestrasi atau tidak, sengaja diskenario atau tidak, fenomena Roy-Jeje dan CFW telah memunculkan ambiguitas baru dalam penamaan SCBD.

Jika sebelumnya orang mengenal singkatan itu sebagai Sudirman Center Business District, akhir-akhir ini barangkali netizen lebih mengenal SCBD sebagai Sudirman Citayam Bojonggede Depok. Lihat, betapa perkasanya kuasa pikiran manusia atas teks!

Menurut media busana Jepang yang kemudian menulis fenomena ini, "catwalk" terbuka CFW tak ubahnya Harajuku di jantung kota Tokyo yang juga sering menggelar acara serupa dan menjadi tontonan ribuan pasang mata.

Roy-Jeje mewakili anak-anak muda pinggiran yang bukan penduduk asli Jakarta, tetapi memanfaatkan ruang publik Jakarta sebagai arena unjuk eksistensi dirinya.

Roy-Jeje mungkin tidak paham filosofi Jurgen Habermas mengenai "public sphere" sebagai ruang pelarian demokrasi yang sering terkooptasi lembaga formal dalam hal ini negara. Mereka hanya berkreasi begitu saja. Boleh jadi cuma dituntun naluri, tanpa bekal pengetahuan yang memadai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline