Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Runtuhnya "Citayam Fashion Street" Kami

Diperbarui: 25 Juli 2022   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roy, Mami, dan Oman memanfaatkan zebra cross untuk ajang unjuk pakaian di Jakarta, Rabu (20/07/2022). (KOMPAS.com/Kristanto Purnomo)

Pada akhirnya kapitalisme jugalah yang berjaya, para pemilik modal yang bisa mengemudikan jalannya sejarah. Lalu kreativitas yang semula dianggap "genuine" menjadi artifisial sejadi-jadinya. Penuh kepalsuan dan manipulasi.

Itulah yang terjadi dengan fenomena Citayam Fashion Sreet (CFS). Benih Subkultur--biarkan saya menyebutnya demikian--yang baru seumur jagung itu bakal kehilangan sifat alamiahnya atau "nature" tergantikan tindakan "nurture" para pemodal yang menindas. Tanaman yang baru tumbuh itupun akan lekas kering, kehilangan pupuk alamiahnya. Bahkan mati tidak lama lagi.

Segala sesuatu yang sudah sarat kepentingan yang menyertai kehadiran fenomenal CFS yang dibesut anak-anak Sudirman Citayam Bojonggede Depok (SCBD), sudah tidak menarik lagi karena sudah akan menjadi generik. Ia akan kehilangan "ruh" yang menjiwai orisinalitas unjuk busana sekaligus tebar pesona manakala para pemilik kuasa dan pemodal melihat CFS sebagai media baru, bahkan kendaraan baru yang akan membawa siapapun yang memanfaatkannya mencapai terminal ketenaran.

Lalu mereka--para pemilik modal dan kuasa--ramai-ramai berada di dalamnya, tebar pesona semata-mata untuk memetik keuntungan pribadi. Pemilik modal yang kaya raya perlu memelihara ketenarannya, sementara pemegang kuasa perlu memperpanjang kekuasaannya.

Fenomena berikutnya dari kehadiran CFS adalah para pendompleng yang membajak "ruang" sedemikian seksi yang diciptakan anak-anak SCBD, baik pesohor maupun politikus. Mereka tidak segan membajak ruang yang ritual utamanya melintas di "catwalk" terbuka berupa zebra cross itu.

Kemudian dengan kekuatan media yang dimiliki dan bermodal kapital serta ketenaran, mereka--para pendompleng--itulah yang kemudian mengisi berita-berita media arus utama, juga media sosial. Itulah tujuan mereka, sekadar melanjutkan ekstensa simulasi kehidupan yang sejatinya telah ditaklukkan oleh barang-barang produksi bermerek sebagai simbol kejatidiriannya.

Benar bahwa dengan modal besar yang dikucurkan para pemilik kapital dan kuasa beratus-ratus juta atau bermiliar-miliar rupiah itu lebih dari cukup untuk mengangkat derajat para aktivis mula CFS seperti Roy, Jeje, dan Bonge ke tingkat kehidupan baru yang jauh lebih baik, yang mungkin tidak terbayangkan imaji liar mereka sebelumnya.

Tetapi percayalah, materi yang berlimpah itulah yang justru bakal mematikan kreativitas, sekaligus memudarkan orisinalitas CFS. Tampaknya virus "vicious circle" yang mematikan diam-diam telah merasuki tubuh mereka juga.

Ah, semoga perkiraan ini keliru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline