Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Pengalaman Pribadi Diwawancarai Majalah Tempo

Diperbarui: 31 Agustus 2020   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu wartawan Majalah Tempo menghubungi saya untuk sebuah wawancara. Saya sudah menduga, wawancara terkait dengan topik buzzer atau influencer. Dugaan saya tidak melenceng, meski awalnya dibungkus dengan prolog pertanyaan: "Mengapa pemerintah sekarang ini lebih suka menggunakan jasa influencer?"

Dari prolog ini, wartawan Tempo yang menghubungi saya secara sadar tidak lagi menggunakan kata buzzer, sebab suka atau tidak istilah ini sudah membuat media berpengaruh sebesar Majalah Tempo babak belur akibat laporan utama yang membingkai (framing) buzzer sebagai membahayakan demokrasi dan oleh sebab itu harus "ditertibkan" (Majalah minggun ini tidak segan-segan menggunakan istilah Orde Baru ini).

Tentu saja saya memanfaatkan pertanyaan prolog ini sebagai curah opini saya sebagai praktisi media, sekaligus mengabarkan (kalau kata menyadarkan terlalu vulgar) mengenai fenomena media saat ini yang sudah menjadi keniscayaan. Media masih dalam lingkup keilmuan saya. Unsur komunikasi terkait di dalamnya, yaitu buzzer/influencer sebagai penyampai pesan dan pesan (konten) yang disampaikan di media sosial.

Saya menjawab pertanyaan pembuka "Mengapa pemerintah sekarang ini lebih suka menggunakan jasa influencer" dengan dua kata; "impression" dan "impact".

Impresi, karena uang untuk dana promosi/kampanye yang dikeluarkan pemerintah, selain berbiaya lebih murah dibanding beriklan di media massa arus utama, bisa dihitung/terukur (bahasa kerennya "dikuantifikasi") dengan berupa jumlah orang (users) yang mengakses/melihat konten influencer di media sosial.

Berdampak, karena pesannya cepat sampai ke sasaran, ke khalayak pengguna media sosial melalu senjata "virality", sehingga perubahan sikap/prilaku atau paradigma yang diharapkan pemerintah tercapai.

Sayangnya, pernyataan saya ini tidak muncul di Majalah Tempo lewat laporan utamanya "Orkestra Pendengung".

Kepada wartawan Majalah Tempo itu saya meminta membandingkannya dengan jika pemerintah memasang iklan untuk mengkampanyekan programnya melalui media massa. Besarnya biaya iklan yang harus dikeluarkan mungkin bukan halangan, tetapi efektivitas cepatnya penyampaian pesan yang menjadi pertimbangan. Selain itu, sebaran dan jangkauan pesan yang disampaikan lebih terbatas dibandingkan media sosial.

Sekarang hitung "impresi" kalau pemerintah memasang satu halaman penuh iklan di Majalah Tempo. Berapa orang yang membeli dan melanggan majalah ini? Apakah bisa dipastikan berapa orang dari pembaca Tempo membaca iklan pemerintah yang tentu saja harus dibatasi "pagar api" dan dilabeli "Advertorial", "Sponsor", atau "Iklan". Saya bilang kepadanya, "Percayalah pembaca seperti saya akan mengabaikan (baca: tidak akan membaca) iklan ini jika itu dimuat di majalah Anda."

Secara tidak langsung saya mengutarakan bahwa di sinilah letak kekuatan para influencer: konten mereka tidak perlu dilabeli atau diberi embel-embel "Advertorial", "Sponsor" atau "Iklan". Mereka menggunakan cara beriklan canggih yang disebut "native ads". Para influencer cukup bercerita saja seolah-olah itu pengalaman dirinya, bahkan tidak perlu menyebut klien si pemasang iklan, tidak perlu "hard selling" dengan menyebut merek dagang apalagi harga barang. Bahkan saya pribadi menolak kalau harus menyertakan tagar (#) atau hashtag.

Inilah pekerjaan rumah media arus utama; mengimbangi (kalau melawan tidak bisa) kecanggihan native ads para influencer!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline