Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

[Serial Orba] Bicara Terbata-bata, tetapi Moerdiono adalah Simbol Negara Ada

Diperbarui: 15 Desember 2018   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Sekretaris Negara era Orde Baru, Moerdiono. FOTO/Antara Foto

Minggu, 27 Januari 2008, saya sedang berada di balik kemudi Vios kelir ungu saat sebuah stasiun radio yang saya dengarkan tiba-tiba menyiarkan suara Moerdiono, lebih mirip isak-tangis, mengabarkan Presiden Soeharto meninggal dunia. Saya tahu persis itu suara Pak Moer, panggilan akrab Moerdiono.

Saya kemudian meruncingkan telinga saat kendaraan ke luar tol Veteran, selanjutnya melalui TPU Tanah Kusir dan Jalan Bendi, jalur yang biasa saya lalui menuju "markas" Kompas di Jalan Palmerah. Telepon kemudian masuk.

Mas Tom, Pemred Harian Kompas yang bernama lengkap Soeryopratomo, menghubungi lewat henpon. "Sudah dengar 'kan Pak Harto meninggal?" Saya mengiyakan. Standar operasional biasa seorang Pemred yang menghubungi koleganya di lapangan, saya sendiri, yang saat itu bertugas di Kompas.com.

Yang ingin saya ceritakan di sini bukan bagaimana Harian Kompas atau Kompas.com meliput dan memuat/menayangkan berita kepergian pemimpin Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun itu. Yang ingin saya ceritakan adalah Moerdiono.

Lewat radio di kabin mobil dan dari nada suaranya yang terbata-bata, Moerdiono benar-benar menangisi kepergian boss-nya itu. Ia adalah seorang loyalis yang tidak diragukan lagi. Loyalis Soeharto.

Bagi orang-orang yang sempat merasakan nafas masa lalu saat berada di bawah kuasa Jenderal Besar itu, mungkin mudah menautkan ingatan Moerdiono dengan Orde Baru; "suaranya" dan jabatannya "Menteri Sekretaris Negara". Dua hal yang melekat pada diri Pak Moer.

Sekadar mengingatkan, pada era Orde Baru di zaman Soeharto, lahirlah tiga Mensesneg yang terkenal, yaitu Alamsjah Ratu Perwiranegara, Sudharmono, dan Moerdiono. Tetapi, Moerdiono-lah yang paling fenomenal.

Era setelah Pak Moer, Mensesneg jatuh kepada Saadilah Mursjid, Akbar Tandjung, Muladi, Bondan Gunawan, Djohan Effendi, Bambang Kesoewo, Yusril Ihza Mahendra, Hatta Rajasa, Sudi SIlalahi, dan Pratikno.

Dari semua Mensesneg itu, Pak Moer-lah yang paling "cool" bahkan cenderung "cold". Dingin. Nada bicaranya saat menghadapi puluhan "mike" dan sorot kamera benar-benar datar, tidak ada intonasi berarti, minim tekanan. Datar saja. Orang bilang, matanya pun cenderung melorot, tidak menatap tajam kamera.

Tetapi di balik bicaranya yang seperti penderita afasia itu, di balik pandangannya yang sayu, ada wibawa sebuah negara. Negara hadir di sana. Negara ada. Pak Moer berbicara mewakili negara. Pak Moer negara itu sendiri. Selalu begitu.

Ada ucapan "euuuu..." di sela-sela kalimatnya yang berkecepatan "very slow" itu. Tidak pernah ia berbicara meletup-letup seperti ketel uap atau meledak-ledak ibarat petasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline