Suatu pagi di awal tahun 2012, saya duduk berjejer di sebuah ruangan bersama dua rekan lainnya, Taufik H. Mihardja dan Edi Taslim. Di seberang meja duduk berjejer lima petinggi Harian Kompas. Di tangan mereka inilah kendali redaksional koran terbesar di Tanah Air ini berada.
Mereka kolega saya juga, tetapi saat itu berbeda peran, juga berbeda nasib. Mereka menjadi hakim tanpa senyum dan tanpa palu di tangan, sementara saya dan dua rekan saya menjadi pesakitan.
"Keputusan apakah Kompasiana ditutup atau diteruskan akan ditentukan siang ini," kata seorang petinggi memecah keheningan ruangan yang sesekali ditingkahi desis Commuter Line yang berangkat dari Stasiun Palmerah ke arah Serpong. "Pemimpin perusahaan sekarang sedang berbicara dengan CEO, kamu tunggu saja!"
Kata "kamu" itu jelas ditujukan buat saya sebagai orang yang menggawangi Kompasiana, sekaligus menunjukkan sayalah strata paling rendah di ruangan itu.
Sebelumnya kami bertiga, saya, Taufik dan Mas Edi sudah sepakat; jangan bicara apapun, membantah, apalagi menjelaskan. "Terserah mereka sajalah," pesan Taufik sebelum masuk "ruang sidang". Saya tersenyum kecut, kata "kita" dan "mereka" mendadak jadi tembok pembatas.
Taufik adalah atasan langsung saya saat itu di Kompas.com, juga Mas Edi Taslim yang pegang bisnis. Tetapi jiwa saya aslinya memang pemberontak, berbeda dengan Taufik yang "cool" dalam segala situasi. Kalaupun ada rasa kesal, itulah kekesalan saya pada almarhum yang melarang saya bicara. Padahal, saya ingin menghamburkan kata-kata juga sebelum Kompasiana benar-benar ditutup selamanya!
Demikian kilasan peristiwa yang melintas dalam pikiran saat saya menerima penghargaan "Lifetime Achievement" Kompasiana yang diserahkan Bos Bisnis KG Andy Budiman di acara Kompasianival ke-8, Sabtu 8 Desember 2018 di Jakarta.
Suasana "sidang" di sebuah ruangan "angker" di Kantor Redaksi Harian Kompas mengisi salah satu sudut ruang pikiran saya. Terbayang almarhum yang berambut putih dan "cool" dalam bersikap, terbayang juga Mas Edi yang pendiam di depan "para dewa" Redaksi. Sementara saya mendongkol karena dilarang bicara apapun.
Jadi kami bertiga dipanggil sekadar dikabari bahwa keputusan Kompasiana ditutup selamanya atau masih diperbolehkan hidup akan diambil siang ini. Setelah itu bubar, tanpa salaman.
Saya bayangkan CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo dan Pemimpin Perusahaan Harian Kompas sedang bercakap-cakap di Lantai 6, lantainya "para dewa" KG, mengenai jalan terbaik bagaimana menutup Kompasiana agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Tetapi saya punya keyakinan -karenanya tenang-tenang saja- Kompasiana tidak akan ditutup. Kenapa? Sebab beberapa pekan sebelumnya saya dalam satu kesempatan ada bersama dua anak biologis pendiri Harian Kompas Jakob Oetama, yaitu Mas Irwan dan Mas Liliek. Dengan berbinar-binar Mas Irwan mengabarkan bahwa ada investor Amerika yang berminat membeli Kompasiana dengan harga "Ratusan M" (Mas Irwan menyebut angka).