"Saya Aliecia. Bisakah Pak Pepih membaca ini, sekilas saja!"
Seorang perempuan berbusana motif bunga-bunga menyodorkan secarik kertas. Bukan perempuan biasa. Maksudnya, bukan seperti perempuan kebanyakan Indonesia. Wajahnya Eropa banget. Bule blas dengan rambut yang rapet, menempel lekat di kepala. Aksen bicaranya mirip Cinta Laura di tivi-tivi hiburan, sedikit menyihir saya. Di atas secarik kertas itu tertulis sebuah karangan hasil karyanya berupa tulisan tangan, karangan wajib yang saya minta sebagai tugas penulisan.
Agak mengutuki usia yang terus merambat senja tatkala harus mencari-cari "John Lennon" saya di dalam saku tas. Rupanya kacamata customize berbentuk dua jengkol bulat yang saya pesan khusus dari optik "Cahaya" di Jalan Palmerah itu bersembunyi di dasar saku Zara. Beberaoa detik kemudian kacamata +2 (baca: plus dua) yang membedakannya dengan kacamata jengkolnya Lennon yang hitam itu sudah mencangklong di atas hidung. Dunia di depan saya mendadak terang-benderang. Saya mulai membacanya. Aliecia tentu maklum dengan usia saya. Sialan!
Saya mulai membacanya santai dalam hati, sementara Aliecia menunggu dengan harap-harap cemas seperti peserta American Idols menunggu keputusan Simon Cowell. Ah, saya tidak pandai memuji tulisan orang. Sebaliknya, sangat mahir mencela karya orang. Demi kebaikan. Juga saya tidak mau mengambil hati Aliecia dengan memuji tulisannya. Aliecia boleh jadi tahu betapa bengisnya saya. Bengis sebagai pengajar menulis, lebih bengis dari Cowell saat mencela penyanyi.
"Seharusnya kamu memulai tulisanmu dengan peristiwa paling dramatis yang kamu alami, baru nanti kamu gunakan 'flashback' dengan menelusur peristiwa ke belakang," kata saya tetap memegang tulisannya yang menggunakan potlot itu, sementara tatapan beralah ke Aliecia. Pipinya jadi seperti kepiting goreng. Dia tersenyum, tapi kelihatan malah senang mendengar "vonis" saya.
Ah ya, sebenanarnya apa sih yang diceritakan Aliecia lewat tulisan tangan berdasarkan pengalaman dramatisnya itu, tulisan dengan pembatasan waktu cuma 10 menit itu?
Baiklah, demi "fairness", saya sedikit menceritakan tulisan apa yang Aliecia hasilkan dalam waktu 10 menit yang saya berikan kepada semua peserta pelatihan menulis yang diikuti 25-30 karyawan PT Freeport Indonesia di Hotel Rimba Papua, Timika, beberapa waktu lalu itu.
Aliecia membuka tulisan dengan salah satu dari "9 teknik membuka tulisan" yang sebelumnya saya sampaikan, yaitu membuka tulisan dengan "percakapan". Bukan percakapan biasa, tetapi percakapan yang hidup, vivid conversation, saya istilahkan sendiri seperti itu. Percakapan ini diharapkan bisa membentot perhatian pembaca, sebuah teknik yang lumrah dalam penulisan creative writing, khususnya cerita pendek.
Percakapan terjadi antara Aliecia, yang mendapuk dirinya sebagai "orang pertama" (yang berarti dirinya terlibat dalam cerita) dengan seorang temannya yang mengingatkannya, "Aliecia, sebaiknya kamu jangan pergi sendirian melewati daerah berbahaya itu, meski kamu mengendarai mobilmu." Aliecia masih menimpali peringatan temannya itu dan ia menjamin dirinya bisa selamat sampai tempat yang dituju, tanpa gangguan gerembolan pengacau. "Percayalah, saya bisa mengatasinya," demikian kira-kira jawaban Aliecia.
Tentu saja konteks cerita berdasarkan pengalamannya itu tidak jauh-jauh dari tempat kerjanya di Tembagapura yang masih rawan penyergapan dan penyanderaan kelompok separatis. Menjadi menarik dan tentu saja penuh drama jika Aliecia menaruh drama paling mencekam yang merupakan adegan paling menarik dari pengalaman yang ditulisnya itu saat mobilnya dihentikan paksa oleh orang-orang bersenjata. Seharusnya adegan yang dinaikkan ke atas.
Suasana mencekam antara-hidup dan mati itulah yang saya minta untuk dinaikkan ke atas sebagai pembuka tulisan, yaitu membuka tulisan menggunakan Aksi alias "Action", yang membutuhkan pertimbangan pikiran jernih atau nekat. Cuma dua pilihan itu saja.
Berpikir jernih, berarti ia akan mati konyol jika menyerah begitu saja. Harta, nyawa, dan badannya yang maaf, semok itu, hanya akan menjadi pesta pora kaum penyergap yang teridentifikasi sebagai gerembolan yang dulu bernama OPM, yang masih beroperasi di Temabagapura. Nekat, tentu saja ia harus mempertimbangkan hal terburuk yang mungkin ia alami; mati!