Amati foto bersejarah ini!
Seseorang tengah membantu "menyeret" Presiden Soeharto dengan sepotong tongkat agar bisa menyeberang ke tempat lebih tinggi. Seseorang itu adalah ajudannya. Ajudan itu adalah Try Sutrisno.
Peristiwa yang terekam lewat foto ini terjadi sekitar tahun 1974, saat Try diangkat sebagai ajudan Pak Harto. Saat menjadi ajudan itulah Pak Harto mulai menyukai Try. Bahwa di kemudian hari Try benar-benar mendampingi Soeharto selaku Wakil Presiden, foto bersejarah ini kembali muncul dengan pusparagam analisa.
Sementara pengamat bilang, itu memang gaya komunikasi yang dikembangkan Soeharto, komunikasi nonverbal, tanpa kata-kata atau bahasa kerennya komunikasi nirkata. Komunikan atau lawan bicara, siapapun dia, dipaksa memahami komunikasi nirkata itu.
Dari sisi budaya, gaya komunikasi Pak Harto disebut "high context culture" (kebudayaan konteks tinggi) sekadar membedakannya dengan "low contect culture" (kebudayaan konteks rendah). Gampangnya, gaya komunikasi politik Pak Harto sering samar-samar (bahkan tersembunyi), sukar ditebak dan sulit dipahami karena minimnya kata-kata yang terucap.
Lawan bicara, yang biasanya dari kalangan terdekatnya juga, "dipaksa" memahami gesture tubuh atau mimik wajahnya saat menyatakan suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju terhadap pilihan yang disodorkan. Gaya komunikasi kebudayaan konteks tinggi ini ditandai dengan pesan implicit , kadang puitis, juga mengawang-awang, tidak langsung dan tidak berterus terang, juga penuh kepura-puraan.
Si lawan bicara cukup menangkap gerakan tangan, intonasi suara, gerakan tubuh , ekspresi wajah, sorot mata atau gerak fisik bagian tubuh lainnya. Lalu, pahamlah si lawan bicara apa yang dikatakan Soeharto atau apa yang dimauinya sesungguhnya.
Bandingkan dengan gaya komunikasi kebudayaan konteks rendah yang ditandai dengan eksplanatif (menjelaskan secara rinci), eksplisit atau langsung/linear/to the point). Gaya bicaranya pun langsung, lugas dan berterus terang. Banyak yang mengatakan cenderung tidak sopan dan aneh.
Namun demikian, sesekali Soeharto juga berbicara gaya lugas saat melempar ancaman "Gebuk", misalnya, kepada siapa saja yang melawan konstitusi atas keinginan penggantian dirinya selaku Presiden RI yang mulai disuarakan kaum kritis, khususnya anggota "Petisi 50" dan sejumlah gerakan-gerakan mahasiswa.
Namun keseringannya, Soeharto cenderung menggunakan gaya komunikasi "high contect culture" ini, yang membuat Orde Baru penuh teka-teki. Teka-teki yang dibuat Soeharto sendiri. Pemilihan kata dalam komunikasi Soeharto sangat halus dan tersamar. Intonasi suara yang tidak keras, tapi bobotnya terasa atau bisa dirasakan oleh lawan bicaranya.
Muladi yang pernah menjabat wakil Ketua Komisi Hak Asasi Manusia di era Soeharto pernah mengungkapkan, banyak tidaknya Soeharto bicara tergantung apakah ia suka atau tidak, senang atau tidak, dengan stafnya atau laporan stafnya.