Senin 18 September 2017, saya memasuki gerbang kota termegah di Provinsi Guangdong lewat jalan darat dari Hongkong. Menggunakan Alphard sewaan dengan dua plat nomor yang umum di lintas Hongkong-Shenzhen, senja jingga yang berbaur dengan gemerlap lampu penerangan kota yang mulai dinyalakan menyambut saya dan rombongan kecil dari Jakarta
Catatan perjalanan saya ke Shenzhen, Tiongkok atas undangan Huawei ini direncanakan ditulis secara serial. Banyak hal yang bisa saya ceritakan. Tidak melulu soal perkembangan teknologi informasi yang pesat, produk apa yang sedang dikembangkan di negeri yang dulu disebut Tirai Bambu itu khususnya oleh Huawei, dan aplikasi teknologi apa yang dikembangkan untuk kehidupan sehari-hari saat ini dan masa mendatang, melainkan hal-hal menarik lainnya.
Sebagai pembuka, saya mulai dengan hal-hal ringan, yaitu tentang cerita Duta Besar RI untuk Tiongkok, Soegeng Rahardjo saat menjawab pertanyaan Usman Hakiki, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) yang mengikuti program "Seeds for the Future" salah satu perusahaan ICT terbesar di Tiongkok itu. Saya tidak mengikuti percakapan ini karena terjadi di Beijing, sedangkan saya hanya sampai ke Shenzhen. Tetapi, perkembangan teknologi bukan suatu rintangan untuk mengikuti audiensi Sang Dubes dengan 10 mahasiswa Indonesia.
Pertanyaan Usman sungguh sederhana, namun dalam pertanyaan itu sudah tercermin pemahamannya mengenai arti penting proximity atau kedekatan yang biasa saya pakai saat menjalankan tugas jurnalistik; What kind of strategies that we can learn from China to build Indonesia as all of us here are engineers and many areas in Indonesia are not reached yet by technology?
Jawaban Dubes Sugeng Rahardjo tidak kalah penting dan menarik. Jawabannya lebih menonjolkan pengetahuan umumnya yang luas tinimbang jawaban khas diplomat. Menurut Soegeng, kemajuan Tiongkok di bidang teknologi dan informasi (ICT) seperti sekarang ini tidak lain sebagai hasil dari benchmark ke negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat.
Jika Perancis meraih kemajuan berkat penaklukan sebagian besar daratan Eropa oleh Napoleon Bonaparte, Inggris meraih kejayaan berbagai inovasi berkat Revolusi Industri, maka Amerika Serikat meraih kemajuan bidang teknologi usai Perang Dunia II yang mengharu-biru itu. Bagaimana dengan Tiongkok?
Menurut Soegeng, menyambut Abad 21, Tiongkok meraih kemajuan dengan satu satu kunci, yakni "Infrastruktur". Untuk menghubungkan seluruh daratan Tiongkok, agar mobilisasi massa dan komoditi berjalan lancar tanpa hambatan, maka Tiongkok di bawah Deng mulai membangun infrastruktur berupa jalan tol besar-besaran, jaringan rel kereta api yang membentang dari kota-kota yang panjangnya tidak mau kalah dengan Tembok Cina.
Pelabuhan untuk menyandarkan berbagai kapal besar, bandara yang mendekatkan Tiongkok dengan belahan dunia lainnya, serta jaringan telekomunikasi, dibangun secara-besar-besaran. Pemerintah Tiongkok sadar, ketertinggalan negara itu selama ini karena politik mengisolasi diri di bawah rezim sebelumnya, Mao Zedong. Tentu saja ada sisi baik daeri seorang Mao, yakni sebuah warisan sistem politik yang sangat kuat, ketat, dan kaku, yang berperan membentuk karakter warga Tiongkok berjiwa kuat, setidak-tidaknya patuh kepada negara dan pemimpin mereka seperti sekarang ini.
"Tak ada seorang pun warga Tiongkok yang melewatkan kesenangan mereka untuk selalu terhubung. Di Tiongkok orang menggunakan Wechat and Alipay untuk sekadar membayar sayuran dengan harga 5 Yuan (Rp10.000). Indonesia memerlukan lebih banyak serat optik atau satelit untuk mendukung kemajuan seperti ini," kata Soegeng.
Sebagaimana saya kemukakan sebelumnya, kehati-hatian Tiongkok termanisfestasi dalam bentuk larangan atau blocking seluruh produk Internet asing. Jika Anda yang biasa "mati gaya" jika tidak tersambung ke Internet, Anda akan benar-benar "mati kutu" alias tidak bisa berbuat apa-apa saat menginjak kaki di Tiongkok, melalui provinsi manapun, seolah-olah gawai (gadget) mahal di tangan siap dibenamkan ke dalam lumpur karena nyaris tidak berfungsi. Di dunia maya, Tiongkok seolah-olah senyap, tanpa kehidupan. Itu bagi pendatang asing.
Namun sebagaimana dikemukakan Fariz Azhar Abdillah, mahasiswa Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia berusia 21 tahun yang didapuk sebagai "kepala suku" rombongan mahasiswa Indonesia peserta Huawei "Seeds For The Future 2017" itu, pemblokiran produk Internet asing oleh pemerintah pusat di Beijing telah merangsang para developer ICT untuk membuat produknya sendiri. Jika pemblokiran ini diterapkan di Indonesia, kata Fariz, jelas sudah sangat terlambat karena ekosistem pengembangan ICT sudah terbentuk.