Ketika mengutarakan niat untuk mengundurkan diri dari Harian Kompas, usia saya bukan lagi setengah abad, tetapi setengah abad lebih dua tahun. Benar, persisnya 52 tahun. Lantas orang pun bertanya; ngapain kamu resign, sudah enak-enak kerja di Kompas, gaji gede, tinggal tunggu pensiun, selesai.
Rupanya bagi orang lain, tak terkecuali keluarga dan teman-teman dekat, keputusan saya ini dibilang aneh, sulit dikunyah nalar, apalagi saya akan memulai sebuah usaha rintisan (startup) yang lekat dengan pekerjaan anak-anak "alay", anak-anak milenial yang seharusnya dilakukan anak saya, dan belum tentu berhasil. Apa yang mau saya cari dan saya kejar?
Tentu saja tidak asal nekat, bukan juga didasari kesumat atau kecewa berat terhadap kantor lama. Tidak. Semua telah saya perhitungkan dengan matang. Saya hitung berbagai kemungkinan, termasuk ketika saya gagal dalam bisnis rintisan yang akan saya bangun bersama kawan-kawan. Untuk sampai pensiun di usia 60 tahun, saya harus menghabiskan waktu 8 tahun lagi kerja di Kompas.
Benar, 8 tahun itu akan berarti rezeki mengalir yang saya rasakan sudah lebih dari cukup dan menjamin hari tua saya, bahkan bisa menjamin kehidupan anak-istri saya sampai pensiun kelak. Ibarat kata, tinggal ongkang-ongkang kaki dengan gaji sebesar 75-80 persen dari gaji pokok terakhir, plus "golden shakehand" yang tidak sedikit, pensiun akan menjadi "kemewahan" tersendiri. Dan.... saya boleh dibilang harus melepas semua itu untuk sebuah cita-cita mendirikan bisnis rintisan!
Tetapi satu hal; saat pensiun nanti saya pensiun begitu saja, tidak punya barang (perusahaan). Selama ini saya bekerja untuk membangun perusahaan, tetapi yang saya bangun itu perusahaan orang lain. Saya sekadar nebeng dan menjadi buruh (baca: karyawan) di sana!
Tetapi 'kan belum tentu usaha rintisan yang saya jalankan berhasil dan saya beririko kehilangan kedua-duanya? Begitu mungkin pertanyaan terlempar dari sejumlah kawan dekat. Benar, tetapi itu sudah masuk perhitungan saya. Tetapi dalam usia tertentu, "kegalauan" ini akan dirasakan oleh orang lain yang punya jiwa petualang dan berani dalam mengambil risiko.
Dalam kondisi ini, bukan uang, gaji tinggi, kesempatan dan jabatan yang saya cari, tetapi lebih kepada memeras adrenalin saya saja sebagai manusia yang tidak puas dengan kemapanan. Saya ingin mencari sesuatu yang membuat adrenalin saya bergelegak, sebab keputusan saya adalah sebuah vivere veri coloso, hidup yang menyerempet-nyerempet bahaya. Bayangkan, tatkala saya masih punya anak yang kuliahnya belum selesai dan masih punya anak satu lagi yang masih duduk di sekolah dasar tetapi saya harus melepas seluruh perolehan yang rutin biasa saya dapatkan!
Tetapi, saya teringat pendiri KFC Colonel Harland Sanders yang memulai usaha di usia 65 tahun, juga Ray Croc pendiri McDonald's yang berusia 52 tahun, seusia saya, saat mendirikan usahanya. Tentu saja saya tidak berpretensi menjadi mereka. Tetapi setidak-tidaknya memulai usia di usia "senja" atau setelah lebih dari setengah abad, bukan hal yang aneh. Sudah ada presedennya. Ya Sanders dan Croc itu, meskipun bisnis yang saya jalankan jauh-jauh dari urusan ayam.
Kenapa saya tidak merasa takut memulai bisnis di usia senja? Toh saya tidak sendirian. Saya mendirikan Selasar sebagai platform berbagi pengetahuan bersama anak-anak muda yang usianya jauh di bawah saya, bisa terpaut 25-30 tahun. Jadi kenapa saya harus takut? Saya percayakan kecanggihan mesin dan bisnis pada anak-anak muda yang energik dan penuh visi ke depan ini, sementara saya memanfaatkan jaringan, usia matang, pengalaman, dan keterampilan selama saya bekerja di tempat lama.
Sudah 4 bulan saya bergabung di Selasar yang melakukan pivot dari blog sosial menjadi platform berbagi pengetahuan, pengalaman dan wawasan dalam format tanya-jawab sejak 15 Desember 2016 lalu, sementara saya tercatat pindah pada 1 Januari 2017. Meski baru empat bulan, toh Selasar sudah tumbuh cepat dari sisi konten maupun pengguna (users) yang memanfaatkan platform itu.
Hal yang mengejutkan dan tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa dalam waktu relatif singkat Selasar telah mendapatkan pendanaan Seri A dari salah satu investor berbasis di Amerika Serikat juga dari venture capital berbasis di Singapura.