Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Pewarta Warga vs Jurnalis Profesional? Kredibilitas adalah Kuncinya!

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13526964471397496052

Saya mendapat pertanyaan menarik dari presenter KompasTV Feby Indirani saat siaran langsung membahas buku yang saya tulis, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman. Pertanyaan itu lebih dari sekadar menarik kalau tidak mau dikatakan tajam, "Apa yang tersisa bagi jurnalis profesional ketika tulisan/laporan pewarta warga kini sudah semakin menarik dan bermanfaat?" Saya langsung menjawabnya, "Kredibilitas!"

Kredibilitas adalah "sacre" atau suci bagi jurnalis profesional saat ini di saat khalayak pembaca dihadapkan pada berbagai pilihan, termasuk pilihan mereka membaca di blog dan sosial blog seperti Kompasiana. Saya berpendapat, jurnalis profesional perlu memanfaatkan "kelemahan" para pewarta warga yang kadang kadang tergelitik membuat berita "hoax" (palsu), membuat judul bombastis, dan tentu saja menulis berita "seksi" seperti pornografi dan mempertentangkan SARA. Saya katakan, kredibilitas bagi jurnalis profesional adalah "harga mati" selain "sacre" tadi.

Pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran saya kemudian dan harus saya jawab sendiri adalah, "Apalagi yang tersisa buat jurnalis profesional ketika para pewarta warga juga sudah semakin kredibel di mana tulisannya dapat dipercaya?" Saya menarik napas dan berusaha berpikir keras. Iya juga, ya? Saya jawab sendiri -- dan ini saya katakan di layar kaca -- bahwa warga yang menulis di blog atau di internet tidak serta-merta disebut jurnalis yang ketat dengan etika dan cara-cara peliputan. Untuk itulah, mengapa dalam buku Citizen Journalism itu saya kurang sreg dengan istilah "citizen journalism" khususnya pada kata-kata "journalism" itu. Bagi saya, istilah "citizen reportage" dan pelakunya disebut "citizen reporter" (warga yang melaporkan) adalah lebih tepat dan dapat lebih dipertanggungjawabkan. Pertanyaannya, mengapa saya tetap menggunakan judul Citizen Journalism di saat saya kurang sreg dengan istilah itu? Jawabannya sederhana, saya tidak ingin mencari-cari istilah baru dari kegiatan warga menulis di online. Pada hampir semua teks print maupun online, istilah "citizen journalism" tetap dipakai. Lagi pula setelah saya cek, belum ada judul; buku dalam bahasa Indonesia yang menyebut eksplisit Citizen Journalism. Terkait kredibilitas (credibility) tadi, bagi saya baik jurnalis profesional maupun pewarta warga harus sama-sama punya kredibilitas, harus sama-sama bisa dipercaya. Yang saya tekankan, pewarta warga harus menyampaikan kebenaran sementara jurnalis profesional harus selalu menggali fakta dan sekaligus menyampaikan kebenaran. Apakah kemudian akan terjadi persaingan antara pewarta warga dan jurnalis profesional? Bisa saja dan rasa-rasanya itu sudah terjadi. Bagi saya, persaingan akan menjadi baik dan bermanfaat jika diolah dengan kesadaran memberikan informasi yang benar. Dalam wawancara langsung itu saya berterus-terang, semula Kompasiana diperuntukkan bagi jurnalis Kompas sebagai jurnalis profesional agar menulis blog, sebagaimana yang dilakukan jurnalis The New York Time, yang masing-masing memiliki blog dan blog itu menjadi bagian dari kanal TNYT. Akan tetapi, kultur bagi wartawan profesional di Indonesia tidaklah sama dengan kultur wartawan di Amerika yang tingkat kesadaran akan "personal branding"-nya sudah sedemikian tinggi. Jurnalis TNYT sangat menikmati kedekatan dengan pembacanya yang khusus berupa interaktivitas yang tanpa batas. Dialog konstruktif terjadi antara si jurnalis dengan pembacanya. Pengetahuan dan informasi tambahan, bahkan informasi baru, secara otomatis didapatkannya lewat interaktivitas itu. Mungkin bisa saja berkilah, 'kan kalau sekadar mendapatan umpan balik (feed back), tidak mutlak harus menjadi blogger qua jurnalis. Lantas bagaimana dengan interaktivitas antara pewartawa warga dengan para pembacanya? Rasanya mereka sudah jauh lebih dahulu bergerak, jauh lebih matang, dan jauh lebih dewasa karena kultur beronline sudah terbentuk dan mereka jalankan tanpa pernah disadarinya. Mestinya, ini adalah modal dasar sekaligus kelebihan yang dimiliki pewarta warga dibanding jurnalis profesional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline