Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Komposisi "Bungong Jeumpa" Lahir karena Tsunami [Konser Balawan-Jubing 3]

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jubing tampil dari arah lain panggung dengan menggamit gitar akustiknya. “Madu dan Racun” gubahan almarhum Ariwibowo yang dirilis ulang baru-baru ini oleh J-Rock, mengentak kesadaran penonton lengkap dengan nada-nada dangdutnya. Di tangan Jubing, dawai-dawai gitar sedemikian ramai dan sibuk bukan main, seperti sebuah orkestra. Ada kecepatan yang sulit diikuti, tetapi tetap ada harmonisasi yang terjaga. Mulai ketukan di badan gitar sampai teknik memainkan harmonic yang cukup sulit. Sebuah repertoar yang memaksa penonton bertepuk-tangan setelah lagu yang popular di tahun 80-an itu selesai dimainkannya. Jubing kemudian bercerita sedikit mengenai komposisi bernada dangdut itu, juga bercerita tentang lagu Minang, “Ayam Den Lapeh”, yang akan dimainkannya kemudian. Kali ini Andy Owen mendampingi. “Lagu ini sebenarnya menceritakan seorang kekasih yang lepas dari genggamannya, tetapi saya tidak tahu mengapa kekasih diasosiasikan dengan ayam,” kata Jubing. “Tadi saya lewat di Jalan Bintaro, saya lihat ada restoran ‘Ayam Lepas’, tapi itu pasti bukan ‘Ayam Den Lapeh’ yang dimaksud lagu ini,” katanya lagi. Andy Owen menyela, “Jangan mau makan di restoran ‘ayam lepas’, isinya sebenarnya bebek!” Belum lagi Jubing seperti tidak percaya atas pernyataan tadi, Andy melanjutkan, “Soalnya ayamnya lepas semua, jadi yang ada cuma bebek.” Penonton spontan tertawa. Sebelum memainkan komposisi lagu minang ini, Jubing sempat menduga-duga. Sebenarnya lagu ini bercerita tentang kesedihan, katanya, sebab bagaimana tidak kekasihnya lepas tidak bersedih. ”Tetapi, penciptanya seorang yang optimistis,” Jubing melanjutkan, “Sebab, nada yang diciptakannya sangat dinamis dan riang.” Gitaris klasik kelahiran Semarang 9 April 1966 yang mantan redaktur pelaksana tabloid Nova ini pun memainkan komposisi “Ayam Den Lapeh” dengan nada riang, sebagaimana yang dikehendaki penciptanya, meski sedang tersaput kepedihan. Pada komposisi ini, Jubing bereksperimen dengan menjadikan badan gitar sebagai gendang yang ditabuhnya secara ritmik berbarengan dengan sentuhan dawai gitar. Ada nada-nada harmonic minor di beberapa frets, tetapi tetap tidak menghilangkan keminangan sebuah komposisi “Ayam Den Lapeh”. Jubing kemudian menjelaskan, dirinya bermain musik karena dua hal; teknik, kemudian musiknya itu sendiri. “Saya belajar gitar klasik, itu dasar musik saya. Tetapi saya juga dengar lagu-lagu lain. Lalau saya coba-coba bikin melodinya sendiri. Bahkan musik dangdut pun saya masukkan. Saya mendengar lagu anak-anak, juga musik-musik daerah seperti yang ini….” kata Jubing sambil memainkan sepotong melodi “Es Lilin” dari Jawa Barat sebagai contoh. Memang dari empat album yang dihasilkannya, yang hampir semuanya diembel-embeli “Fantasy”, Jubing selalu memainkan komposisi lagu anak-anak, khususnya ciptaan Ibu Sud. Ada “Hujan Fantasy” yang popular di kalangan anak-anak dengan “tik tik tik bunyi hujan di atas genting”, juga ada “Delman Fantasy” dengan “Pada hari minggu kuturut ayah ke kota”. Di tangan Jubing, komposisi lagu anak-anak itu sedemikian meriah, riuh-rendah dengan rupa-rupa teknik permainan gitar. Sebut saja tremolo yang menggetarkan hati itu, teknik kocok, teknik tab, petikan apoyando, slur yang seperti terpeleset itu, dan seterusnya. Semua seperti ada dalam satu komposisi. Di atas panggung yang sedang dikuasainya itu, Jubing memainkan komposisi yang semua diciptakannya, seperti “Sukiyaki” yang disela Andy Owen secara kelakar, “Itu lagunya Dono-Kasino-Indro”, lanjut ke “Bengawan Solo” ciptaan komponis Gesang, “Mission Imposible”, “Hujan Fantasy”, dan terakhir lagu Aceh, “Bungong Jeumpa”. Khusus mengenai lagu terakhir, Jubing mengungkapkan bahwa komposisi itu hadir saat tsunami Aceh tahun 2004. Orang bebas menerjemahkan dan mengartikan sebuah lagu termasuk “Bungong Jeumpa” ini, katanya. “Saya pun memaknai lagu ini dengan segenap penghayatan yang saya miliki.” Maka di tangan Jubing, niscaya orang yang terkait langsung dengan peristiwa hilangnya 250.000 nyawa orang Aceh ini menjadi sebuah “perjalanan nada” yang memilukan, merintih, dan memeras air mata. Jubing memainkan komposisi dengan penuh kesedihan (con dolore) pada “Bengong Jeumpa” itu dengan sepenuh penghayatannya, membuat suasana tercekam dan penononton seperti menahan nafas. Nada minor sangat mendominasi yang memang seperti ditakdirkan untuk nada-nada duka. Harmonic yang dihasilkannya juga terbilang dahsyat membuat dentingan gitar menjadi samar-samar terdengar. (Bersambung) Tulisan sebelumnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline