Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

The Ghost Writer

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13285054521474642987

The Ghost Writer adalah salah satu film beraksen London yang saya tonton beberapa waktu lalu. Film garapan sutradara Roman Polanski dan dibintangi antara lain oleh Pierce Brosnan ini cukup lengket dalam pikiran saya. Karena bagus, tentunya. Pendeknya, film ini tidak sebagaimana galibnya film Hollywood yang terbiasa menyenangkan semua penonton dengan adegan seru, lalu berakhir dengan kejayaan si "empunya lelakon". Film The Ghost Writer bernuansa kelabu, bersetting kota pinggiran London yang temaram dan kelabu dengan klimaks yang sulit ditebak. Bukan film itu yang ingin saya bahas dalam kesempatan ini, melainkan kata "The Ghost Writer" itu sendiri. Apakah terjemahannya dalam bahasa Indonesia menjadi "penulis iblis", "penulis genderuwo" atau "penulis dedemit"? Tidak pas juga. Bukan setan dan sebangsanya yang dimaksud "ghost" di sini. Mungkin padanan yang paling tepat adalah "penulis bayangan". Sebab secara makna, The Ghost Writer dimaksudkan sebagai "penulis bayangan", yang nama jelasnya tidak pernah dicantumkan alias selalu disembunyikan. Pertanyaannya, rugi dong nama jelas si penulis tidak dimunculkan? Bagaimana seorang penulis bisa eksis kalau namanya tidak dimunculkan secara byline? Jawabannya; tetap bisa eksis. Bukankah penulis itu tetap bisa ada (eksis) justru karena dia bertindak selaku penulis bayangan! Apakah menjadi penulis bayangan itu bisa menghasilkan uang? Jelas, bisa menghasilkan! Seorang penulis bayangan biasa disewa oleh penerbit tertentu, yang meminta jasanya menuliskan otobiografi seseorang. Orang ternama tentunya. Atau si penulis bayangan bisa langsung diminta oleh seseorang yang ingin biografinya ditulis sebagai "otobiografi". Orang ini, biasanya pejabat atau usahawan, ingin menulis "otobiografi" dengan bergaya "orang pertama" (saya atau aku). Namun, apalah daya waktu dan kemampuan untuk menulis sebenarnya tidak punya. Di sinilah penulis bayangan atau The Ghost Writer itu tampil. Dia tak ubahnya seorang jurnalis yang berusaha menggali sumber. Ia wawancara tokoh yang ingin sosoknya ditulis sebagai "otobiografi". Ia lakukan riset kepustakaan, dokumentasi, dan video. Ia terikat kontrak dengan si tokoh yang ingin ditulisnya, juga terikat kontrak dengan penerbit yang memesannya. Tentu saja uang muka dan perjanjian bisnis sudah ditandatangani sebelumnya. The Ghostwriting dengan sendiri menjadi peluang bagi penulis! Daripada nama tidak bisa dijual kalau membuat novel atau analisa, ya lebih baik menjadi The Ghost Writer yang sudah jelas dari sisi penghasilan. Memang nama jelas sebagai penulis (byline) tidak tercantum. Anggap saja itu konsekuensi atau pilihan. Take it or leave itu. Bagaimana seseorang menjadi penulis bayangan? Apakah kita, Anda, yang merasa penulis biasa bisa menjadi penulis bayangan? Adakah syarat penting untuk menjadi The Ghost Writer? Tentu saja ada. Namun, izinkan saya menjelaskannya dalam kesempatan mendatang. Insya Allah... Salam menulis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline