Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Memupuk Gairah Menulis, Pentingkah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Penting nggak penting, itu saja jawabnya tatkala orang bertanya apakah gairah menulis perlu dipupuk? (duh, kayak tanaman saja ya!). Penting dipupuk? Tentu saja bagi penulis profesional, novelis, cerpenis, essayis, kolomnis, analis, jurnalis, dan seterusnya... Bahkan untuk para profesional ini, selain memupuk gairah menulis, juga harus memupuk gairah membaca. Menulis tanpa membaca hanya menjadikan tulisan hampa. Membaca sebagai bekal menulis, membuat tulisan menjadi bernas. Tentu saja memupuk gairah menulis itu mahapenting bagi profesional yang hidupnya bergantung semata-mata pada menulis. Nggak penting dipupuk? Tergantung niat. Biasanya "nggak penting" ini sering merasuki para penulis amatir, yakni mereka yang menulis karena enjoy, bersenang-senang, dan hobi, bukan semata-mata cari duit. Bagi mereka. hasrat menulis bisa on-off atau mood-mood-an, pendeknya tempo-tempolah. Tempo menulis, tempo nggak sama sekali. Tetapi kalau boleh saya sarankan, penulis amatir pun, yang menulis karena hobi dan kesenangan semata, tetap harus memupuk gairah menulis ini. Caranya bagaimana? Sebenarnya sederhana saja. Saya tidak akan berteori macam-macam atau muluk-muluk, cukup mengabarkan pengalaman saya sendiri saja. Teknologi online dan perkembangan internet malah membuat upaya memupuk gairah menulis lebih mudah lagi. Tidak percaya? Taruhlah Anda nggak mudeng menulis, ide terkunci, pikiran tergembok, jari-jemari pun kaku saat harus menari-nari di atas papan ketik atau keypad. Untuk menghindari kemandekan pikir dan tindak ini, saya biasanya ngetwit atau bikin status di Facebook. Untuk hal-hal sepele, muntahkan saja di Twitter maupun Facebook. Kadang ide muncul dari beberapa kata status di Facebook atau 140 karakter kicauan di Twitter. Tidak aneh kalau saya sering kena ledek teman-teman kalau saya sedang falling in love-lah (halah fall melulu, bonyok lama-lama!), lebay-lah, ngasal-lah. Bukan apa-apa, saya sering sharing kata-kata yang dianggap indah, sehingga saya kena tuding macam-macam (hahaha.... ngeles!). Saya biasa menanggapinya sambil guyon. Mereka tidak tahu, kalau saya sebenarnya sedang memecahkan kebuntuan atau tengah memupuk gairah menulis! Kadang saya memberikan komentar saat saya sedang malas menulis, itupun upaya untuk memupuk gairah menulis. Kalau malas ngenet dan malas baca bacaan online, saya lari ke buku, terpekur sejenak di perpustakaan, baca-baca perkembangan ilmu. Maka saya surprise sendiri ketika menyaksikan gairah menulis para Kompasianer yang tidak pernah surut. Dari hari ke hari makin bergairah. Bayangkan, 300-400 postingan mengalir setiap hari, tidak terhitung komen dan tanggapan di dalamnya. Luar biasa! Saya bicara dalam hati, ini pasti ada energi besar para Kompasianer untuk menulis! Tentu mereka bukan lagi memupuk gairah itu, tetapi sudah memetik dari gairah itu: tulisan yang bernas! Sebagaimana pernah ditulis dalam postingan terdahulu, Mempromosikan Tulisan Kompasianer Lewat Kompas Cetak, Klasika Kompas Zona MAKASSAR, Zona PALEMBANG, dan Zona MEDAN, tetap membuka peluang para Kompasianer menulis mengenai tiga wilayah tersebut (tentu saja diperluas menjadi Sulawesi Selatan, Sumatera Bagian Selatan dan Sumatera Bagian Utara/Aceh). Pengalihan media dari media online (Kompasiana) menjadi media cetak (Klasika Kompas), saya anggap sebagai upaya memupuk gairah menulis itu. Meski tidak diiming-imingi imbalan materi, tetap saja tulisan Kompasianer yang tulisannya dimuat di Kompas Klasika akan mendapatkan kebanggaan tersendiri. Bagi dosen, tulisan itu akan dijadikan bukti hasil karya di media massa untuk penilaian kenaikan pangkat. Bagi pencari kerja, tulisan yang dimuat di media cetak bisa dilampirkan sebagai lampiran untuk melamar bejerja di media massa. Bisa juga dijadikan gaya-gayaan sebagai laporan kepada bakal calon mertua (masih jauh ke nikah dong), atau ke bakal calon pacar (masih dalam proses merayu dan belum jadi pacar). Saya pernah dikritik seolah-olah tulisan yang tercetak lebih berharga dari tulisan online. Saya dianggap memarjinalkan tulisan di online! Ah namanya kritik, saya terima saja. Bagaimana mungkin saya memarjinalkan tulisan online wong saya sekarang bekerja di online dan saya menulis di media online pula hahaha... (open your eyes, please!). Upaya saya untuk menampilkan tulisan Kompasianer (online) di Klasika Kompas (cetak) semata-mata untuk memupuk gairah Kompasianer menulis! Menutup postingan ini, Klasika Zona MAKASSAR, PALEMBANG, dan MEDAN masih tetap menerima tulisan para Kompasianer, baik yang sudah termuat di Kompasiana ini ataupun tulisan yang baru sama sekali untuk ketiga zona tersebut. Silakan promosikan tulisan Anda di Klasika Kompas, sebagaimana contoh tulisan Kompasianer Medan di atas (lihat foto di atas), yakni Siregar Akhmad Junaedi. Tambahkan tag KOMPASIANAKLASIKA untuk tulisan yang sudah dimuat untuk mempermudah penilaian. Atau, kirimkan link tulisan Anda ke alamat imel pepih_nugraha@yahoo.com. Yang terakhir ini sekalian kenalan tentunya. Ayo, bergairahlah...!!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline