[caption id="attachment_53908" align="alignleft" width="500" caption="SHUTTERSTOCK"][/caption] Pertama kali mendengar kata trolling saat saya memancing di laut dalam, di sekitar Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, beberapa tahun silam, bersama Ilham Mattalatta, adik penyanyi lawas Andi Meriem Mattalatta. Rupanya trolling sering dipakai di dunia memancing ikan di laut dalam. Beberapa kail fiber dipasang di buritan sementara kapal melaju dalam kecepatan tertentu. Kail yang telah dipasangi umpan terbawa di kedalaman tertentu, menggugah ikan barracuda yang lahap mengejarnya. Ketika umpan tersantap, kailpun melengkung sampai membentuk busur, sementara bunyi gulungan senar atau tali kail terulur karena menahan entakan barracuda. Orang yang memancing dengan cara trolling ini tidak disebut troller, tetapi tetap saja fisherman. Saya menikmati betul memancing dengan cara trolling ini di dunia nyata, yakni memancing ikan! Belakangan ketika dunia internet mewabah dan menggejala sebagai bagian dari gaya hidup (bahkan kebutuhan) sehari-hari, saya kembali menemukan kata trolling ini. Jika dalam dunia memancing trolling berkonotasi baik, trolling dalam dunia internet berkonotasi buruk. Dalam dunia internet, trolling diartikan sebagai seseorang yang mempostingkan tulisan atau pesan menghasut dan tidak relevan dengan topik yang dibicarakan di komunitas online seperti forum, chatting, dan bahkan blog. Tujuannya adalah memprovokasi dan memancing emosi para pengguna internet lainnya agar jalannya diskusi yang tengah berlangsung menjadi kacau. Dalam dunia internet, pelaku trolling ini disebut troller. Kalau Anda mencari padanannya dalam dunia nyata, troller bisa suka-suka Anda artikan sebagai provocateur alias provokator! Sebagai insan manusia, tentu saja saya memilih trolling di dunia nyata (memancing) daripada trolling di dunia maya (provokator). Trolling di dunia nyata saya pernah melakukannya, trolling di dunia maya sebisa mungkin tidak akan pernah saya melakukannya. Bukan apa-apa, bila saya melakukan trolling di dunia maya sebagai provokator, saya kuatir disebut orang yang tidak bernetiket (netiquette) alias netter yang tidak tahu sopan santun. Ketika di dunia nyata kita menemukan orang yang tidak tahu sopan santun, maka ucapan yang pantas untuknya adalah, "Kawan, kau ini hidup dan dibesarkan di hutan mana sehingga tidak ada yang mengajarimu peradaban!". Sama, ketika di dunia maya kita menemukan orang yang tidak tahu sopan santun, maka teriakan yang pantas untuknya juga, "Kawan, kau ini hidup dan dibesarkan di hutan mana sehingga tidak ada yang mengajarimu peradaban!" Kompasiana sebagai bagian dari dunia maya, tidak bisa lepas dari para troller ini. Maka kita bisa melihat dan membaca postingan-postingan yang menghasut bangsa yang hidup tenang di bawah naungan NKRI agar menjadi berpikir separatis. Ada postingan yang mengganggu ketenangan hidup pemeluk agama tertentu dengan mengusik usil keyakinan yang dianut pemeluk agama tersebut. Ada postingan yang menghina suku (etnis) tertentu, padahal etnis yang diperkarakannya sungguh tidak berbuat "dosa" atau ulah aneh sedikitpun. Ada postingan yang menghasut Kompasianer agar membenci tokoh A atau B, dan seterusnya, tanpa dasar kuat. Hanya mengebom begitu saja, mengebom postingan-postingan yang menghasut itu tadi, seakan-akan tanpa dipikir dan dilakukan di luar nalar (untuk mengatakan sebagai "di luar akar sehat"). Mengapa mempostingkan sesuatu harus dengan nalar baik? Contoh sederhana, jika Anda pria yang tertarik pada seorang perempuan cantik, unutk menarik hatinya janganlah Anda menjelek-jelekkan (menghina) para pria saingan Anda yang juga tertarik kepada gadis itu. Bukankah sebaiknya Anda menunjukkan kebaikan-kebaikan Anda kepada gadis itu daripada harus menjelek-jelekkan saingan Anda? Kalau dia gadis yang waras, tentu dia akan langsung antipati dan langsung "mengusir" Anda pergi. Lagi, ketika Anda menawarkan barang baru kepada seseorang, janganlah menjelek-jelekkan barang lama. Boleh saja Anda mau mendirikan negara baru sebagaimana yang Anda inginkan, tetapi please jangan menjelek-jelekkan negara yang sudah ada dan settle. itu bisa memancing kemarahan warga negaranya. Ini sekadar contoh kecil berpikir dengan nalar yang sehat! Idealnya, sesama Kompasianers memang tidak selayaknya saling serang atau berlomba-lomba menjadi troller demi memancing ramainya komentar sebuah postingan. Bukankan diskusi sekeras apapun, kalau itu masih terkait dengan topik yang dibahas atau diskusi yang merujuk ke referensi, tidak dilarang dan bahkan justru dianjurkan? Pertanyaannya, bagaimana menghadapi para troller ini? Tim O'Reilly, netter yang pernah mengusulkan adanya kode etik blogger menegaskan, sebaiknya abaikan saja para troller ini. Abaikan. Jangan Hiraukan. Kira-kira demikian usulannya. Artinya, para netter atau blogger (dalam hal ini Kompasianer) jangan terpancing dengan umpan yang dilempar para troller ini baik dalam dalam bentuk postingan maupun komentar. Dengan mengabaikan semua postingan yang mengarah ke hujatan, hasutan, cacimaki, mempertantangkan SARA, dan pencemaran nama baik, niscaya para troller akan frustasi sendiri. Mereka akan senewen sendiri. Lengkapnya usulan O'Reilly adlah sebagai berikut: 1. Bertanggung jawab tidak hanya kepada kata-kata sendiri, tetapi juga komentar-komentar yang Anda izinkan termuat dalam blog Anda. 2. Menandai komentar-komentar yang mulai bernada makian 3. Pertimbangkan untuk menghapus komentar-komentar anonim 4. Abaikan troller 5. Upayakan percakapan offline dan bicara langsung, atau cari penengah yang bisa mengatasi masalah 6. Jika Anda tahu seseorang berprilaku buruk, beritahu saja mereka 7. Jangan katakan sesuatu apapun secara online yang tidak akan Anda katakan secara pribadi. Banyak sebenarnya netiket atau etika berinternet yang selayaknya diketahui para netter, termasuk para Kompasianer. Apalagi di dunia maya kita kerap bersinggungan dengan masyarakat yang tingkat peradabannya berbeda, bisa peradaban lebih maju dari kita, atau sebaliknya lebih rendah. Akan tetapi, netiket tidak pernah membedakan tingkat peradaban semacam itu. Bukan apa-apa, saat kita bersepakat untuk menjadi anggota suatu komunitas, katakanlah menjadi Kompasianer, kita tidak berniat mencari musuh, bukan? Yang kita cari adalah teman diskusi, sekeras apapun diskusi kita yang kita lakukan. Di dunia internet, situs beken sekaliber Youtube maupun Facebook pun tetap memberlakukan perlakuan keras terhadap para pelanggar netiket ini. Seliberal apapun, Youtube tidak akan pernah menayangkan video cabul atau adegan sadis dan adegan pelecehan terhadap golongan atau agama tertentu. Demikian juga Facebook. Sanksi terhadap pelanggaran berupa penutupan akun kepada netter yang melanggar aturan yang tertuang dalam term of condition tetap diberlakukan. Sebagai bagian dari dunia maya, saya rasa Kompasiana pun memberlakukan hal yang sama demi kebaikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H