Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Buku Tersulit yang Pernah Saya Edit

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1397534995866707786

[caption id="attachment_331777" align="aligncenter" width="300" caption="Sampul buku karya Bur Rasuanto, "][/caption]

Saya selalu bergairah jika berhubungan dengan buku, termasuk mendapat tantangan dari Stanis Sularto, wakil pemimpin umum Harian Kompas, untuk menyelesaikan buku Bur Rasuanto. Menyelesaikan di sini maksudnya membuat artikel tercecer menjadi sebuah buku utuh; mulai dari membaca seluruh artikel, mengklasifikasikan dalam bab perbab, membuat pendahuluan, menyusun kata pengantar, menulis sinopsis, memberi judul sampai menarik kesimpulan mengenai tema buku itu.

Bur Rasuanto, si pemilik artikel sendiri bukan nama asing buat saya. Salah satu novelnya, Tuyet, pernah saya baca beberapa tahun silam semasa saya kuliah. Novel kedua yang saya baca mengenai perang Vietnam yang mengharu-biru pada masa itu setelah Nguyen, saya lupa siapa penulisnya. Bur adalah wartawan dan sastrawan penulis kolom di Harian Kompas. Pada awal tahun 1991-1992 saya berkesempatan "mengobrak-abrik" isi Harian Kompas saat pertama koran itu terbit sampai akhir tahun 1990 untuk sebuah analisis isi dan membuat sejarah ringkas Harian Kompas. Saya menjumpai nama Bur Rasuanto untuk rentang waktu 25 tahun itu. Nama besar lainnya untuk kolom bergengsi ini antara lain Soe Hok Gie, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Mahbub Djunaidi, dan nama besar lainnya di jagat kolomnis.

Tantangan sekaligus tawaran itu datang, maka pantang bagi saya untuk menghindar. Pertama, Stanis Sularto yang biasa saya sapa Pak STS, adalah boss besar Harian Kompas yang otomatis atasan saya secara tidak langsung. Kedua, tantangan ini mengasyikkan, sebab saya tahu persis tulisan Bur Rasuanto tidak mudah dipahami. Cenderung sulitlah, sebab yang ia tawarkan adalah masalah-masalah sosial-politik dengan pendekatan filsafat, moral, logika, psikologi, dan ilmu-ilmu "kering" lainnya yang sulit dipahami.

Kalau ada sedikit keberuntungan, itu karena kegemaran saya membaca buku-buku filsafat (meski tidak pernah paham sepenuhnya), sehingga saya tidak merasai teralienasikan, terasingkan, saat mengunyah kolom Bur. Ibarat kudapan, filsafat bisa saya makan kapan saja meski bukan menu utama. Ketiga, saya pernah punya sedikit pengalaman merajut dan menjahit buku "Pentalogi Istana" tulisan Wisnu Nugroho di Kompasiana, yakni Pak Beye dan Istananya, Pak Beye dan Keluarganya, Pak Beye dan Kerabatnya, Pak Beye dan Politiknya, serta Pak Kalla dan Presidennya sampai beberapa di antaranya menjadi best seller. Kalau lima buku tebal-tebal bisa saya jahit dan rajut sebagai editor, mengapa sebuah buku Bur tidak bisa saya selesaikan? pikir saya saat menerima tantangan itu.

Maka saya mulai membaca seluruh artikel yang saat disodorkan berjumlah lebih dari 30 itu. Selesai saya baca dan kunyah, saya langsung mendapat "benang merah" mengenai buku itu kelak, mulai dari gagasan utama, tema, sampai kepada titik tekan pembahasan utama. Dengan mudah saya golongkan ke dalam persoalan politik dan sosial saja, sehingga bab yang akan saya ciptakan untuk buku itu hanya dua bab. Filsafat dan kawan-kawannya itu mana? Ya hampir di seluruh tulisan itu, tidak lepas dari kajian filsafat!

Jujur, hal yang tersulit dari pembuatan buku itu bukan saat saya harus menyusun kata pengantar, pendahuluan, atau menentukan bab, melainkan saat saya harus menerakan sinopsis pada masing-masing artikel. Mengapa? Sebab saya harus tahu persis satu artikel itu bicara tentang apa. Karena selalu dikaitkan dengan konteks waktu saat masing-masing artikel dibuat, pada malam hari sebelum pulang ke rumah saya membenamkan diri di Pusat Informasi Kompas (PIK) untuk mencari tahu konteks waktu artikel dan konten saat artikel itu ditulis. Berselencarlah saya di antara tumpukan koran kertas lama karena pencarian dan tampilan kliping elektronik untuk setiap artikel atau berita di Harian Kompas baru dimulai tahun 1991. Sebelumnya, saya harus buku-tutup koran lama, meski pencariannya dipermudah oleh sistem digital yang diterapkan PIK. Kalau jumlah artikel kurang lebih 30, maka sebanyak persoalan itulah informasi yang harus saya telusuri demi membuat sinopsis. Beruntung, beberapa sinopsis di antaranya diselesaikan wartawan Harian Kompas, Fitrisia Matrisasi, yang namanya saya tabalkan dalam Pengantar Editor.

Buku itu kemudian saya beri judul Saya Berambisi Menjadi Presiden, yang tidak lain dari salah satu tulisannya yang saya taruh di bagian pertama bab pertama mengenai Bab Politik. Pengambilan judul itu, sebagaimana diakui Pak STS dalam kata pengantarnya, disesuaikan dengan peristiwa aktual, di mana Indonesia sedang menghadapi pemilihan presiden baru. Memang demikian adanya, saya harus bisa menangkap aktualitas, kekinian, sekaligus novelty (kebaruan) dari buku yang saya sunting ini.

Satu pelajaran penting dari isi buku Bur Rasuanto adalah, penulis itu tidak boleh takut, tidak boleh menulis dalam tekanan, dan terbebas dari pikiran nyinyir atau bahasa sarkastis untuk sebuah "revolusi" perbaikan keadaan. Saya golongkan Bur sebagai penulis yang "sangat berani" untuk masanya saat pemerintah dipimpin Presiden Soeharto secara represif dan membatasi ruang gerak kebebasan, termasuk kebebasan berpikir. Uniknya, Bur menghamburkan seluruh kritik tajamnya itu lewat kolom atau opini yang ditulisnya seperti tanpa rasa takut. Salut juga saya berikan pada policy Harian Kompas saat itu, yang berani menampilkan tulisan menyengat Bur Rasuanto, sedengkan untuk jurnalismenya sendiri orang telanjur mencap Kompas sangat hati-hati dan mengelak frontal dengan pemerintah yang berkuasa saat itu.

Teman-teman dapat mengambil manfaat dari buku yang kemudian diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) ini, yakni belajar "menjadi berani" dalam menulis dan menuangkan gagasan orisinal sesuai kepakarannya. Tidak mesti nyinyir apalagi sarkastis, pendapat bisa disampaikan secara elegan dan tetap menjaga kesantunan, meski isinya sangat-sangat menyakitkan. Tentu saja menyakitkan bagi yang terkena sentilan sentilun.... eh, sentilan Bur Rasuanto.

Sampai jumpa...

**

Palmerah Barat, 14-4-14




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline