[caption id="attachment_339229" align="aligncenter" width="571" caption="Ilustrasi/Kompasiana (shutterstock)"][/caption]
Sebagai pengasuh dan salah satu pendiri Kompasiana, saya selalu berprinsip "hanya 'good journalism' yang akan bertahan" dalam pusaran arus informasi yang zig-zag ini, tidak peduli apapun medianya. Meski Kompasiana merupakan media warga dan bukan media arus utama, saya selalu menginginkan adanya "good journalism" hidup di Kompasiana. "Good journalism" diartikan sebagai jurnalisme yang berpihak pada kepentingan publik, tidak menjadi bagian atau alat kekuasaan, serta memegang etika dalam bekerja, baik etika profesi maupun etika yang berlaku secara universal.
Menjadi paradoks, Kompasiana yang "hanya" sekadar media warga kok masih disebut sebagai "jurnalisme" dalam hal ini "good journalism"? Bukankah sebagaimana yang saya tekankan dalam buku saya Citizen Journalism: Pandangan, Pengalaman dan Pehamanan (Penerbit Buku Kompas, 2012) bahwa warga yang menulis di blog atau media sosial BUKAN wartawan tetapi sekadar warga pewarta? Pertanyaan ini benar dan harus dijawab. Maksud "good journalism" di sini adalah "good content" atau "good opinion" dengan berpijak pada etika/moral universal. Maka saya berpendapat; "hanya 'good content' dan 'good opinion' saja yang akan bertahan" di media sosial seperti Kompasiana.
Bagaimana penjelasannya? Saat opini ini saya tulis, suasana "kebatinan" masyarakat Indonesia tidak luput dari urusan Pemilu Presiden yang berlangsung 9 Juli 2014 setelah didahului Pemilu Legislatif pada 1 April 2014. Baik Pileg dan utamanya Pilpres kali ini, jauh lebih menarik dan bahkan menantang dibanding Pileg dan Pilpres sebelumnya (2004 dan 2009). Mengapa? Sebab pada dua pemilu sebelumnya peran media sosial belum begitu terasa, meski sudah ada yang menggunakannya. Tetapi di tahun 2014 ini, "perang terbuka" antarpendukung dua kubu (kebetulan hanya ada dua paket pasangan yang maju) berlangsung secara masif melalui media sosial. Facebook dan Twitter tetap menjadi pilihan favorit bagi masing-masing kubu untuk mengekspresikan dukungannya.
Akan tetapi yang menarik, Kompasiana sebagai media sosial Tanah Air menjadi media yang dilibatkan dalam pusaran arus informasi yang saya sebut "zig-zag" tersebut. Banyak postingan yang pro-kontra terhadap masing-masing pasangan calon presiden muncul, bahkan mendapat pembaca dan komentar yang gegap-gempita. Bagi Kompasiana sendiri, hiruk-pikuk pesta demokrasi lima tahunan berupa Pilpres ini menjadi anugerah sekaligus bencana.
Menjadi anugerah, karena tiba-tiba banyak orang berkunjung ke Kompasiana, banyak orang yang mendaftarkan diri sebagai penulis Kompasiana, dan banyak orang yang ingin berdiskusi di Kompasiana. Orang-orang yang semula tidak mengenal Kompasiana, otomatis menjadi tahu Kompasiana. Trafik dan keterbacaan Kompasiana menjadi tinggi dengan sendirinya.
Menjadi bencana, karena Kompasiana menjadi bulan-bulanan kekesalan atau kekecewaan pihak-pihak tertentu yang merasa adanya penistaan terhadap masing-masing calon presiden beserta wakilnya. Ada banyak surat yang masuk ke admin Kompasiana mempertanyakan mengenai tulisan A atau tulisan B dipertahankan, mengapa harus dijadikan headline, mengapa penulis C atau Penulis D dibiarkan "hidup" di Kompasiana padahal isi tulisan menjelek-jelekkan salah satu pihak. Banyak alasan, banyak orang berkepentingan agar satu tulisan dihapus atau satu akun dihilangkan. Kompasiana menjadi sasaran kemarahan dan bahkan kebencian!
Ada yang bilang Kompasiana sudah berpihak, Kompasiana tidak independen, Kompasiana berisi konten SARA, dan lain-lain hal negatif. Saya pribadi sering bertanya-tanya; apakah tudingan itu juga dialamatkan kepada Facebook atau Twitter? Apakah ada permintaan kepada admin Facebook atau Twitter (kalau mereka punya admin) untuk menghapus satu konten yang dianggap berisi fitnah atau SARA, atau satu konten yang dianggap mendiskreditkan salah satu calon presiden dan pasangannya? Jika ada, berarti nasib Facebook atau Twitter sama jeleknya dengan nasib Kompasiana. Jika tidak ada, alangkah beruntungnya Facebook dan Twitter; sudah kaya dan terkenal, tidak harus dipusingkan pula oleh orang-orang yang meminta postingan dihapus karena berisi fitnah atau SARA!
Bagi saya, ini satu tantangan baru dan seni mengelola sosial media yang khas ala Indonesia, sebagaimana saya tulis dalam buku Kompasiana Etalase Warga Biasa (Gramedia Pustaka Utama, 2014), bahwa mengelola media sosial seperti Kompasiana di Indonesia, banyak dilakukan secara personal. Kadang saya selaku pengelola berhadapan dengan banyak orang, baik pengguna (users), baik penulis maupun pembaca Kompasiana, atau yang sama sekali bukan users, yang ingin satu konten atau bahkan satu akun dihapus. Padahal, Kompasiana sudah jelas-jelas mencantumkan tata-tertib di welcome page. Rupanya, bagi sebagian orang, menemui langsung awak Kompasiana jauh lebih "aman" dan "menjamin" daripada harus berhadadapan dengan mesin (fitur surat untuk Admin).
Saya selalu menekankan pada diri saya dan teman-teman pengelola lainnya di Kompasiana; hadapi secara personal siapapun yang ingin meminta penjelasan langsung mengenai Kompasiana dan jangan pernah menghindar. Mengelola media sosial seperti Kompasiana berbeda dengan cara Twitter atau Facebook mengelola konten dan akunnya. Cara personal mungkin malah mereka hindari dan sebisa mungkin mesin yang bekerja. Simak cara mereka menarik iklan untuk konten atau akun berbayar, semua dilakukan oleh mesin, apalagi untuk sekadar "keluhan" dari penggunanya. Hebatnya, para pengguna tidak pernah menghujat Twitter atau Facebook meski dalam konteks Pilpres, postingan berupa teks, foto, maupun video yang berisi fitnah, dengan nyaman berseliweran dan dibaca baik oleh kawan maupun lawan. Sungguh beruntung mereka!
Kembali ke Kompasiana. Saya percaya dan tetap yakin, hanya "good content" dan "good opinion" (meminjam istilah "good journalism" untuk media mainstream) dari "good people" (Kompasianer) saja yang membuat Kompasiana sebagai media sosial bertahan dan akan terus bertahan. Dengan konten dan opini yang baik, dalam hal ini konten/opini bermanfaat sebagaimana jargon "the news that we can use", pengguna (users) akan kembali datang berkunjung ke Kompasiana tidak peduli apakah Kompasiana disebut sekadar "media warga" atau media online biasa. Pembaca memerlukan "the opinion or news that they can use", untuk apapun keperluannya, sebuah konten yang menjadi panduan bagi pembacanya.