Lihat ke Halaman Asli

Pepih Nugraha

TERVERIFIKASI

Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Ketakutan Barat Akibat Kurang Memahami Ajaran Islam

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketakutan bangsa Barat, Eropa khususnya terhadap Islam, disebabkan kekurangtahuan bangsa Barat terhadap ajaran Islam. Ditambah lagi pengambilan 'potret salah' beberapa media masa atas tragedi kemanusiaan/kekejian yang dilakukan ISIS, yakni kelompok yang mengambil klaim sebagai pelaksana ajaran Islam yang murni, hal ini semakin menambah kekalutan mereka. Belum lagi image buruk yang dimunculkan sendiri oleh kempok maupun individu yang membawa-bawa Islam.

Demikian dikatakan Meinung Gedanken, Kompasianer yang mukim di Jerman, menanggapi tulisan saya Soal Kebebasan Beragama, Belajarlah ke Jerman yang ditayangkan di Kompasiana, Sabtu 10 Januari 2015. Sedangkan Cahaya Hati, Kompasianer yang juga tinggal di Jerman mengatakan, untuk belajar bagaimana kebebasan beragama di jalankan tidak semata-mata harus mencontoh Jerman. Amerika Serikat, menurut dia, juga bisa dijadikan contoh bagaimana kebebasan beragama dijalankan. "Di Amerika kebebasan beragama juga dijamin. Agama-agama besar diajarkan juga di sekolah-sekolah sekedar untuk pengenalan bagi murid-murid," katanya.

Meinung Gedanken mengungkapkan, beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kehebohan di Jerman akibat munculnya satuan polisi Syariah yang didirikan oleh pengikut Salafi di kota Wuppertal. Satuan ini sempat melakukan patroli dan melakukan kontrol pengawasan. Tindakan itu menurut Meinung merupakan bagian awal dari ideologi keras yang bertujuan untuk mendirikan negara Syariah di Jerman. "Jelas berbenturan dengan Undang-undang Dasar Jerman yang berlandaskan sekularisme sehingga tak heran bermunculan kritik, kecaman dan kemarahan warga Jerman," katanya.

Menurut Meinung, persoalan itu bertambah pelik dengan banyaknya imigran yang datang dari negara-negara Timur Tengah (Arab) yang masuk ke Eropa tanpa kesiapan dan kecakapan yang cukup, baik mental, pendidikan, ketrampilan maupun materi. Meinung menceritakan, tiga tahun lalu saat dirinya masih mengerjakan suatu proyek sosial di Jerman, tepatnya di kota Duesseldorf, terdapat suatu cerita. Sepasang suami-istri dari negara Arab berimigrasi ke Jerman lengkap dengan dua belas anak-anaknya dengan rentang usia 6 bulan sampai 17 tahun. Menurutnya, tidak ada dari mereka yang bisa berbahasa Jerman, bahasa Inggris pun sangat sangat minim. Pasangan tersebut juga tidak memiliki pendidikan dan ketrampilan sehingga tidak bisa disalurkan ke bursa kerja dan akhirnya mereka pun dimasukkan ke dalam program tunjangan sosial.

Sampai di sini, kata Meinung, masih ok, namun mulailah muncul tuntutan-tuntutan dari mereka kepada pemerintah kota yang seringkali mengatasnamakan ajaran agama. Mulai dari tuntutan penyediaan rumah yang cukup besar untuk bisa menampung 14 orang termasuk harus adanya ruang ibadah untuk sholat bersama-sama, ketidakmauan mereka untuk memasukkan beberapa anaknya ke TK (sekuler) karena metodanya yang bagi mereka 'tidak islami', larangan bagi anak-anak perempuan ke sekolah karena 'di Islam tidak penting bagi wanita untuk memiliki pendidikan'. Kalaupun sekolah anak-anak tersebut harus dimasukkan ke sekolah khusus perempuan. Dan di sekolah khusus tersebut pengajarnya harus perempuan dan harus muslimah pula. Dan berbagai tuntutan lainnya.

"Saya dengan kewenangan kerja yang tidak bersentuhan langsung dengan keluarga ini saja mulai geregetan. Sempat terlintas di benak; seandainya keluarga ini imigrasi ke Indonesia, sanggupkah pemerintah maupun masyarakat melayani dan menghadapi tuntutan-tuntutan mereka? Dan keluarga seperti ini tidak hanya didapati di kota Duesseldorf, namun juga di kota-kota lain seperti Duisburg, Dortmund, Berlin, Hannover, Bremen, Hamburg dan lainnya," kata Meinung seraya menambahkan, kejadian-kejadian di atas turut memberikan andil semakin 'miringnya' image Islam pada sebagian kecil masyarakat Eropa. "Untungnya, sebagian besar sudah bisa memahami dan membedakan.

Meinung menyatakan salut kepada Jerman untuk masalah toleransi ini, yakni kebebasan bagi seorang individu untuk memeluk maupun menjalankan ibadah agama di Jerman yang memang dijamin dan dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi Jerman. Berbagai agama termasuk sub-ordinatenya (baca: pecahan atau sekte) maupun aliran kepercayaan menurut Meinung  bisa ditemukan di Jerman dan pengikut-pengikutnya bisa melaksanakan kegiatan keagamaan/kepercayaan tersebut dengan bebas. "Apakah kita (Indonesia) perlu belajar pelaksanaan dan penerapan 'kebebasan' tersebut dari Jerman. Karena dalam konteks real, negara tercinta kita ini belum bisa memberikan rasa aman bagi para pemeluk untuk menjalankan kegiatan agama/kepercayaan meskipun Undang-undang Dasar kita, sama seperti di Jerman, yakni menjamin kebebasan tersebut," katanya.

Tentang kebebasan beragama di Amerika Serikat Cahaya Hati lebih jauh menjelaskan, kalau seorang warga negara mendapatkan diskriminasi dalam pekerjaan, pendidikan, pelayanan public service, dan sebagainya, karena agama yang ia anut, ada Undang-undang yang melindungi. Di sekolah sejak dini juga diajarkan anti-discrimination, anti-hate dan sebagainya. "Walau tentu ada saja kelompok 'Islamophobia' yang tidak kenal lelah menyudutkan Islam tapi pengikutnya tidak banyak dan biasanya malu-malu. Kebijakan Luar Negeri Amerika memang mengerikan, tapi di dalam negeri semua pemeluk agama terlindungi dan bebas beribadah," katanya.

Bagi dirinya yang non Jerman lain yang tinggal di Jerman, isi konstitusi Jerman "Die Freiheit des Glaubens (kebebasan memiliki kepercayaan), des Gewissens (nurani)und die Freiheit desreligiosen (dan kebebasan beragama) und weltanschaulichen Bekenntnisses (dan pengakuan/kepercayaan'keduniawian'/ideologis) sind unverletzlich (dijunjungtinggi)" diakui Cahaya Hati memang meneduhkan dan menenangkan, karena artinya dalam institusi pemerintahan resmi setiap warga negara dilindungi dan bisa menuntut perlakuan sama dengan warga negara Jerman.

Bahkan Kanselir Merkel dalam pidato awal tahunnya beberapa hari yang lalu menurut Cahaya Hati mengkritik tajam aksi PEGIDA Jerman (gerakan anti Islamisasi) berdasar atas konstitusi ini. "Anti Islamisasi ini saya kira lahir karena ulah para Salafist Jerman di beberapa tempat cukup demonstratif ditambah adanya juga aliran anggota ISIS datang dari Jerman, sementara ada orang Jerman merasa terganggu karena banyak di Jerman tidak lagi menganggap agama penting atau bahkan tidak beragama atau karena memang penganut Neonazis masih kuat melekat atau juga karena terutama di Jerman bagian Timur, kondisi perekonomiannya tidak segemilang di Jerman bagian Barat," paparnya.

"Prakteknya, saya sendiri dalam bersosialisasi sehari-hari baik itu dengan orang Jerman dan non Jerman tentu seringkali menangkap kekhawatiran akan 'Islam', karena mereka juga membaca dan mendengar berita dunia. Kekhawatiran karena prasangka, seperti Einstein katakan menghancurkannya lebih sulit dari memecah atom, bisa jadi terbentuk karena berita atau ketakutan berlebihan sehingga timbullah istilah 'Islamophobie' ini sering diberitakan," lanjut Cahaya Hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline