Konon, memori kita itu bukan tercatat di kepala, tapi di jantung. Sebab itulah asmara klasik memuja kekasih dengan sebutan jantung hati.
Jantung tempat degup kehidupan, di samping hati yang menoreh rasa sedih serasa disayat sembilu atau suka dalam denyar bahagia.
Jika suatu ketika ada kisah tentang transplantasi jantung, di mana penerima donor kemudian bertingkah dan berpikiran seperti pendonor, barangkali itu bisa disebut sebagai sebuah pembuktian, jika memang benar memori manusia itu dipahat di dalam jantung.
Tidak percaya?
Ehmmmm....
Terserah Entelah.
Hal-hal yang absurd begini kadang perlu juga ditengok.
Minimal untuk mengingat agar memahat memori dengan perbuatan-perbuatan baik.
Berkata baik, berpikir baik, bertingkah baik.
Mau jadi malaikat?
Ya, ndaklah.
Jadi manusia baik yang tahu bekal apa yang harus dipersiapkan untuk mempertebal iman dan taqwa.
Caranya mudah, masuklah ke dalam 'diri' sendiri dengan tekun bermeditasi.
Rasakan kehadiran napas yang menjadi penghubung diri dengan semesta.
Rasakan setiap bagian tubuh hingga mengenali lebih dini jika ada perubahan yang terjadi.
Dengan menjamahnya secara nyata?
Tentu bukan seperti itu.
Merasakan dengan pikiran.
Pikiran? Bagaimana mungkin?
Mungkin saja.
Meditasilah untuk melatih pikiran harmonis. Pikiran yang dilatih untuk konsentrasi, kesadaran, cinta kasih, dan kebijaksanaan.
Tidak perlu memaksakan diri mengatur pernapasan.
Biarkanlah tubuh bernapas dengan sendirinya.
Tubuh pintar dan tahu kapan membutuhkan oksigen lebih, kapan cukup yang ada.
Kita hanya perlu mengamati, memahaminya.
So?
Mulailah untuk bermeditasi.
Meditasi bukanlah agama.
Ia universal dan bisa dilakukan oleh orang dari agama mana saja.
Untuk yang muslim (seperti saya) kalau mau dilakukan dengan dzikir juga lebih baik.
Kapan lagi berdzikir yang berbuah sehat jasmani rohani?
Kinclong batin kita, Sist, Bro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H