PAMIT
Kudorong sepeda motor bututku ke sebuah bengkel. Pasti ulah paku jalanan yang membuat bannya jadi kempes begini.
Kuonggokkan diri ini di sebuah bangku usang. Menunggu tukang tambal ban melakukan tugasnya. Sesaat kusadar, seperti ada sepasang mata menguntitku. Aku celingukan. Dan benar. Sekejap aku terpana. Ada sepasang mata yang sangat kukenal, menatapku dari bangku usang lain tidak jauh dariku. Detik selanjutnya jantungku berdegup kencang. Mata itu nampak seperti memancarkan tawa jenaka. Aku jadi salah tingkah. Mengalihkan pandang ke arah lain. Tapi hatiku tetap menatapnya dan berusaha mengumpulkan ingatan tentangnya.
Aku tertegun ketika menyadari ia sudah berada di depanku. Menyapa santun,"Peny ya "
Aku masih tak percaya. Dengan ragu kusambut uluran tangannya.
"Iya, kamu......." Tak mampu kusebut namanya. Sebab lidahku terasa kelu, berebut dengan degup jantung yang semakin mengencang.
Lalu semuanya mencair, tawa dan cerita mengalir seperti melupakan waktu yang sekian lama memisahkan kami.Ia masih seperti ia di masa muda. Cuma satu yang tak sama, tangannya begitu dingin saat bersalaman denganku tadi. Aku anggap itu respon wajar. Sebab memang kami pernah memendam rasa satu sama lain.
Waktu seperti tak berpihak pada kami. Sepedanya sudah selesai ditambal dan ia harus pergi. Akupun mengantar kepergiannya tanpa sesal apapun. Bagiku pertemuan yang dahsyat itu cukuplah sampai di bengkel itu saja.
Setelah pertemuan di bengkel itu, ada rasa yang menuntunku untuk mencari tahu lebih banyak tentangnya. Aku tanyakan tentangnya pada teman-teman. Dan yang membuatku terkapar tak percaya adalah penjelasan teman-teman bahwa ia sudah meninggal satu bulan yang lalu dalam sebuah kecelakaan.
Lalu tangan siapa yang kemarin dingin menggenggam tanganku? Tangan siapa?( Aku terguguk dalam tangis. Ternyata ia berpamitan padaku. Padahal cinta kami sudah berlalu begitu lama. Cinta sejatikah? Sampai engkau "kembali" untuk berpamitan padaku?)
Misteri yang sungguh tak pernah kuimpikan akan terjadi padaku. Cinta yang tumbuh di masa muda, aku masih begitu labil. Tidak mengerti apa cinta sejati itu. Yang kutahu, aku nyaman berada di dekatnya. Aku selalu ceria saat bersamanya. Aku begitu bersemangat mengikuti kegiatan olah raga dan kegiatan-kegiatan lain di sekolah. Semuanya karena aku merasa ada sepasang mata yang selalu setia menatap gerak ceriaku. Sampai tiba saat aku harus meneruskan sekolah ke kota lain. Hubungan kami hanya sebatas surat menyurat.
Aku yang ceria, aku yang labil. Di sekolah yang baru aku juga masih seperti di sekolah yang lama. Sarat dengan aktifitas. Hanya bedanya, tak ada lagi sepasang mata yang menatap setiap gerak gerikku. Aku terbang bebas seperti burung di angkasa. Di antara teman-teman perempuan, karena aku memang sekolah di sekolah khusus yang muridnya perempuan semua.
Lambat laun surat-surat menyusut jumlahnya dan pada akhirnya berhenti sama sekali. Aku juga tidak merasa kehilangan karena dengan bertambahnya usia aku mulai menemukan jati diriku. Dan dia di sana kukira juga sama tumbuhnya seperti diriku. Dia akan menangkap burung yang melayang di sekitarnya dan mencurahkan kasih sayangnya sebagaimana diberikannya padaku dulu.
Waktupun berlalu, menggilas semua cerita tentang masa muda kami. Sampai kejadian pertemuan di bengkel itu.
Aku kembali ke kota lama sudah menjadi seorang istri dan ibu dari dua anak yang masih kecil-kecil. Begitupun dia, sudah beristri ( dari ceritanya saat bertemu di bengkel itu ) dengan dua anak yang juga masih kecil-kecil. Karena itulah dalam pertemuan itu, meski sesaat aku sempat terkesiap saat menatapnya, kami menjadi akrab tanpa berburuk sangka atas perasaan kami dahulu. Dan saat ia meninggalkan bengkel pun, hatiku penuh bunga aroma persahabatan. Dan jika kemudian itu adalah pertemuan kami yang terakhir ( mestinya atas ijin Pemilik Hidup ini ) dalam kondisi ia "menampakkan" diri secara nyata maka aku harus berpikir ulang atas rasa persahabatan itu. Kuanggap itu adalah cinta sejatinya padaku, hingga ia tak rela meninggalkanku tanpa "bertemu" dulu denganku.
Dalam tangis menerima kenyataan ini, aku sangatlah bersyukur. Terima kasih cinta. Terima kasih sudah membawa rasa cinta untukku ke peristirahatan abadimu. Pergilah dengan tenang. Degup jantungku akan selalu ada untuk mendoakanmu, meski itu harus kusimpan jauh di sudut hatiku yang terdalam.
***tear**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H