Lihat ke Halaman Asli

DekUnyu _

Jurnalist TV

Balada Republik Huka-huka

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan Pemerintah Hanya Seolah-olah

Sekurang-kurangnya sudah tiga puluh tahun saya hidup, dan tinggal di negri yang katanya, “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja” atautenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya ini. Negeri, pada lirik lagu “Kolam Susu”yang dipopulerkan Koes Plus menyebutkan jika orang bilang tanah ini, tanah surga, bahkan tongkat, kayu dan batu pun jadi tanaman.

Namun sayang beribu sayang, negeri yang kenyataanya memang kaya alam, melebihi kekayaan yang digambarkan oleh para dalang, serta jauh lebih melimpah dari nyanyian Koes Plus ini, tak mampu memakmurkan seluruh masyarakatnya hingga ke penjuru negeri.

Ya, saya hidup di bangsa yang nyata, bangsa yang benar-benar ada, ketidak tampakan negara seperti yang saya dan barangkali semua rasakan ini hanya seolah-olah. Seolah-olah tak ada, padahal ada, atau bisa saya katakan negara (dalam hal ini Government) ada, namun cuek. Maka dari itu saya menyebutnya Republik Huka-Huka.

Siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini? Rakyat? Oh, tentu sangat tidak tepat jika demikian, tak adil kalau penderitaan di negeri yang subur dan makmur ini harus ditanggungkan kepada sang penderita.

Jika saya boleh meniru istilah yang sering digunakan oleh tayangan televisi, kesalahan bukan terjadi pada tanah air anda, barangkali demikian lebih tepatnya. Sebab pada pasal 33 UUD 1945 poin (3) disebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Artinya, segala kekayaan yang berlimpah itu merupakan hak rakyat yang diatur melalui tangan Government. Jika hak tersebut tak sampai kepada pemilik (masyarakat) tandanya pemerintah bertanggung jawab penuh atas hal ini.

Satu contoh yang selalu menggelitik hati saya adalah masalah kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di suatu pulau kecil berpenduduk tak lebih dari 250 ribu jiwa penghasil minyak yang tak sedikit. Ya! pulau Tarakan, kota yang menjadi pusat perekonomian di Provensi Kalimantan Utara ini, merupakan penghasil minyak yang cukup besar. Pasalnya, menurut sumber data yang saya peroleh menyebutkan jika Tarakan pernah menjadi incaran utama Jepang saat Perang Dunia II karena kota ini merupakan ladang minyak yang produktif. Per bulannya Jepang bisa mendapatkan hampir 350 ribu barel minyak untuk menggerakkan lokomotif pasukan perang di kawasan Pasifik.

Dan, bahkan dengan hasil minyak yang sangat besar, tanah Paguntaka ini menjadi Kota terkaya ke-17 di indonesia. Namun kini hanya tersisa 1.400 sumur bekas peninggalan Jepang dan Belanda. Sebanyak 200 sumur telah dibuka kembali, 70 diantaranya selama puluhan tahun telah beroperasi, yang setiap bulannya menghasilkan hingga 21.000 barel minyak. Bahkan sumber dari situs pemerintah kota menyebut cadangan minyak 451 jutabarrel. Produksi harian 2.100 barrel. Dengan produksi tetap, minyak baru habis 588 tahun lagi.

Nah dari sektor sumber daya minyak yang cukup besar ini, sangat berbanding terbalik ketika saya menyaksikan masyarakatnya dibebankan dengan kelangkaan BBM, baik jenis bahan bakar untuk kendaraan, maupun minyak tanah untuk rumah tangga. Bahkan masyarakat Tarakan harus mengeluarkan kocel lebih untuk satu liter bbm jenis premium yang dengan mudah mereka dapat di pingir-pinggir jalan.

Ironi memang, entah siapa yang harus bertanggung jawab. Secara teknis, saya belum begitu paham tentang hak pengolaan sumberdaya alam di daerah, seperti Tarakan. Yang jelas, segelintir peristiwa yang terjadi di Tarakan, dan bahkan banyak di luar sana, adalah wujud ke seolah-olahan pemerintah. Seolah-olah mereka ada, namun sebaliknya.

Demikian yang saya ceritakan diatas hanya secuil peristiwa keseolah-olahan pemimpin di Republik Huka-Huka. Barangkali, yang terjadi diluaran sana, seperti Papua, dan penjuru Nusantara lainnya lebih memprihatinkan, MUNGKIN.

Sekian!!!!!!!!!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline