Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Cintaku

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam sehari sebelum berangkat ke kotamu dalam menjalankan tugas. Aku menelponmu, lalu kita habiskan waktu berbagi lewat telepon seluler tentang rindu. Keinginan untuk kembali menggali kenangan, juga cinta yang sekarat didera kesepian. Katakata purba yang tak akan pernah kehilangan makna pun kembali terucap “aku kangen kamu beib” “aku cinta kamu sayang” “benar aku sangat rindu” aku juga kangen sayang lalu berjuta kata mengalir dalam obrolan panjang yang tak pernah usai tentang segalah rencana kita ke depan, tak lupa menginggatkan “ agar mengabari jika sudah tiba” di akhiri ucapan selamat malam “ met bobo sayang,.. have a nice dream beib”.

Dinihari, nada sambung khusus buatmu bordering. Setelah ku angkat ucapmu “beib bangunlah sayang, cepat mandi biar tidak terlambat pesawat”. Aku akan menyiasati hari agar kita bisa bersama tanpa gangguan aktifitas apapun, telponlah aku bila tiba, kalau bisa aku akan menunggumu di stasiun beib. Lekaslah berkemas sayang. “ia sayang”, jawabku “aku berkemas dulu ya sayang”.

Pagi yang dingin, ketika embun masih mengunci lelap kantuk. Namun waktu telah mengetuk pintu, padahal penatku belum lunas setelah semalam lelah  mengemas wajah rindu di mimpiku. Satusatu kenangan terus berlari menyapa, merapatkan selimut hati yang menghangatkan wajah teduhmu, dalam dekap bawah sadarku sebagai muara tempat kita menerima jarak. Saat tiba di bandara El Tary Kupang semilir bayu mengoda punggung ilalang, kelembutannya memagut jiwa melepas senyum di sela deru burung besi di landas pacu menujuh Jakarta yang senantiasa menyodorkan petualang tempat singgah jiwajiwa kesepian dimana aktifitas tak akan pernah tidur. Selalu bising.

Seperti biasa sapa lembut pramugari senior mulai memberi arahan sebagai suar sebentar lagi pesawat akan meninggalkan landas pacu menujuh tujuan, sambil menebar senyum. Senyum  yang mulai menggodaku dalam bayangbayang wajahmu. Jujur kalau bukan karena rindu, bayangmu tak pernah ku ajak berkelana ketika bumi mulai kehilangan jangkauannya.

Saat keluar dari kebisingan cengkareng, jalan masih terpeta jelas dengan bayang bayang akasia penuh debu, tegak bersaing rumah kaca dan menara beton tegak dendangkan madah luka kehidupan social di bawahnya. Taksi pun di kebut. Knalpotnya selalu membagi timbal berlomba dengan waktu, diantara hiruk pikuk dan pekik klakson ketika kemacetan kembali menjerat. Teriakan anakanak jalanan berbaur dengan pengais rejeki di lampu merah bersaing riuh dengan mentari yang garang membakar ubunubun dalam detak waktu yang senggamahi hidup, hingga taksi pun merapat ke penginapan.

Setelah usai menjalankan tugasku, hari ini kita akan bercerita tentang sua, dimana sebuah pertemuan yang paling hangat di hati selalu menghantui, jerit keluh tentang mimpi yang belum juga rabun. kamu akan menemuiku hari ini. Dengan debar gelisah. Segelisah detak jam tua di gerbang Pasar Baru Jakarta. Anganku kembali menerawang, kilas balik pertemuan dulu. Selalu saja waktu tak pernah cukup untuk mengisi angan dan rencana dalam ruasruas jalan yang meninggalkan mimpi di ruang sunyi. Tempat aku menanam kenangan ketika sua kita tempo hari di rorompok. Kenangan yang selalu memeram letupanletupan kerinduan, hingga matang dalam penantian. Lalu kembali perpisahan datang bertandang. Ahhh kita selalu menyembunyikan kenangan di balik airmata kebahagiaan. Disanalah tempat merajut kerinduan, agar bisa di rekat pada peta pertemuan. Tempat manghangatkan kesepian juga kerinduan yang mengigil.

Menunggumu dengan dada penuh debar. Jujur bangku yang ku duduki lebih menikmati kegelisahan hatiku. Sebab bayangmu seperti tertelan dalam kebisingan rutinitas ibukota yang gemuruh. Wajahku mengambang dalam genangan kerinduan. Ahhh betapa jarak ini seperti racun yang menyesakkan dada. Selalu merasuki jiwa. Ada getir kecemasan tergurat di kening hari yang risau, dalam menautkan risalah hati. Betapa tidak. Taksi yang mengantarmu terlalu tua, hingga selalu aku mengutuk waktu yang lambat di selah gaduh aktifitas siang yang begitu riuh. Laiknya perasaan gelisahku yang membunuh rinduku, dalam melontar kabar lewat pesan singkat selulerku. Aku mendadak kesepian di tengah keramaian. Di dalamnya aku melahap gelisahku yang membadai di balik dada yang mekar menanti kembang cinta yang kau bawah untukku.

Disela lamunan dan kegelisahan hatiku. Selulerku kembali memberi sinyal dari sebuah pesan masuk “ beib. Ku terjebak kemacetan, sekarang lagi menujuh tempatmu”. Harupun  mulai sesaki dada, berebutan tempat dengan bahagiaku. Kini aku bisa tersenyum. Mengingat  loronglorong yang pernah ku titipkan mimpimimpi indahku di dadamu. Dan saat ini aku telah menjemputnya. Saat yang teramat indah. Saat yang sangat menentukan hubungan kita ke depan.

Hari ini jelma seribu warna pelangi dalam hidupku. Betapah tidak. Kunikmati kerinduan ini dalam isyarat cinta penuh debar. Laiknya rintik embun pada putik rose liar setelah kemarau meranggaskan pucuknya. Sambil menggengam jemari tanganmu, kita melangkah menyusuri loronglorong kehidupan ibukota, loronglorong yang kelak menjadi kenangan kita.

Di temani alunan musik sambil menunggu makan siang, kita berbagi cerita tentang kerinduan yang padat, menemani waktu yang merambat. Sesekali jemari kita saling memilin dan memuara dalam binar tatapan yang penuh sipu.

Senja bergelayut manja dalam dekap lengan cakrawala. Demikianpun kamu selalu manja bergelayut dilenganku. Harihari yang kita lalui bersama selalu penuh gairah. “Beib aku bahagia banget bisa bertemu dengan mu dan memilikimu”, maukah kamu berjanji untukku, berjanji untuk tidak meninggalkanku” katamu. “Sayang bukankah hari ini kita bersepakat untuk membangun kehidupan cinta kita ke depan. Dengan cinta yang tak pernah terpisahkan?”. kataku sambil menatap matamu dengan penuh ketulusan cinta. Dan ikrar itupun mulai mengalir dalam nadi kita. Beib tak akan ada seorangpun bisa mencuri rasa kebahagiaan ini. Karena rasa itu selalu ada dalam ruang hati yang penuh rasa syukur. Dalam pengertian tanpa standar apapun. Rasa yang senantiasa mengirim doa untuk menerangi langkahmu, dengan kerinduankerinduan yang paling puisi dalam hidupmu. Selamanya ia memilih berumah di hatimu dengan cinta dan setianya yang abadi.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa. Perpisahan itu kembali datang bertandang. “Aku salah, jika mengira air mataku telah kemarau setelah puas menenggelamkan suka cita atas ikrar ku untuk berlabuh di dermaga hatimu. Aku kembali salah menafsirkan. Bahwa  airmataku telah kering dan aku tak akan pernah menangis lagi. Sebab jarak juga interval waktu yang membelengguku begitu lama, bisa menjadikanku kuat. Tapi ternyata tidak. Aku rapuh. Kau tahu, aku jatuh. Jatuh tersungkur oleh keangkuhanku, di atas jiwa seorang lelaki yang berusaha untuk tegar. Aku telah meminum asinnya airmataku sendiri dengan dahaga yang amat sangat.

“Beib aku ga kuat, aku ingin menangis”, katamu sambil menyusupkan wajahmu ke dadaku. “Menangislah beib bila itu membuatmu sedikit lega”, kataku mengecup keningmu sambil memelukmu semakin erat dengan harap agar kamu kuat. Padahal diriku sendiri tak juga cukup kuat menahan beban ini. “Sayang. Aku akan menangis hingga terkuras seluruh airmataku dari dalam telaganya, agar kelak tidak akan adalagi airmata,  jika saat seperti ini kembali datang bertandang.

Sedihpun mulai sesaki dada, berebut tempat dengan bahagia. Ku genggam tanganmu semakin erat. Reflex kamu memelukku semakin ketat, isyaratkan tak mau berpisah. Ku tahu perpisahan ini sangat berat bagimu, terpeta jelas dari gigil tubuhmu, juga getar dadamu menahan isak. Ketika tiba di terminal bus yang mengantarmu pulang, sebelum berangkat dirimu turun terakhir kali. Lalu  memeluk dan mencium ku, entah itu untukku atau untuk perpisahan itu sendiri. Kemudian pergi. Lewat buram kaca jendela bus atau mataku yang mulai meretaskan airmata, atas perpisahan ini ku lihat dirimu masih galau. Ku masih berdiri di sisi gerbang terminal, melambaikan tangan untukmu dengan getar perasaan yang aku sendiri tak pernah tahu, apa itu untuk dirimu atau perpisahan itu sendiri. Sebab yang ku tahu hanya sebuah rasa kehilangan yang amat sangat. Diri mu semakin jauh lalu lenyap ditelan jarak. Tapi bayangmu, suara dan tangismu terus terdengar di sekelilingku.

aku juga tak pernah mengerti
mengapa cintaku tumpah dihatimu

jujur yang aku tahu ku mengenalmu,

seperti air yang memadamkan api
dingin, sejuk, teduh, dan lembut
sisahkan kepulankepulan rindu, juga bara cinta

namun perpisahan ini selalu menggelar jarak
tapi aku akan setia mengantar rindu ke beranda hatimu

menenangkan gelisah hatimu agar kesepian dan kesedihan tak erat memelukmu

sebab kita telah membangunnya dengan kuat



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline