Mendengar statemen Djiwo Sutedjo pada acara Lawers Club tentang Jokowi, saya terhenyak dan merasa sangat penasaran. Sebegitu fenomenalnya sang Gubernur DKI itu, sehingga seorang Budayawan dan Seniman Nyentrik kayak Djiwo Sutedjo bisa berkata bahwa Jokowi itu sudah dianggap Nabi oleh warganya. Hatihatiloh. Rasa penasaranku membawahku mencari tahu siapa sih si Jokowi itu. Sekilas terlihat dia tak memiliki kelebihan apapun. Entah kenapa masyarakat bisa sangat terlena dan tersihir oleh pesonanya yang sebenarnya tidak ada, sampaisampai sebagian besar mencalonkannya untuk menjadi Capres 2014 nanti, dengan Elektabilitas paling tinggi pula, keterlaluan. Dari sudut pandang ku yang rada egois, saya melihat sosok Jokowi tidak memiliki kelebihan apapun dibandingkan dengan gubernurgubernur pendahulunya,selalu keren, tegap, sigap, dan telah mengenyam berbagai pengalaman yang mumpuni, latar belakang akademik yang berkelas, penampilan yang borjuis dan telah kenyang pengalaman dalam berbagai pertempuran. Tentu saja karena mereka adalah seorang jendral. Sedangkan Jokowi latar belakang kepemimpinannya masih diragukan karena yang dipimpinnya adalah Kota Solo yang kecil. Latar belakang pendidikannya juga biasabiasa saja, bentuk tubuhnya yang kurus, berwajah tirus, terkesan kurang gizi walaupun sehat bahkan penampilannya terlalu kampungan. Ahh pokoknya sangat sederhana banget segalanya tentang orang ini. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari penampilan fisik maupun latar belakang pendidikannya. Sederhana dan jauh dibawah standart dibandingkan dengan pendahulunya.
Rasa egois membuatku selalu melihat kemasan daripada isinya. Sehingga aku sering kehilangan logika,hikmat dan akal budi dalam memandang seseorang. Sadar atau tidak inilahsifat dan ciri khas Bangsa ini dalam menilai. Kemasan lebih diutamakan daripada isinya. Kembali terlintas postingan status Hardoyo Sayoko Spb, pada Facebooknya. Di Negara ini orang lebih banyak melihat selembar kertas yang bernama Ijazah daripada isi otak dikepalanya. Ahh ku mulai berpikir mengapa Jokowi digandrungi dan dicintai warganya. Sebab dia sangat sederhana baik penampilan secara fisik, hati dan pikirannya, maka segala sesuatu yang dilakukannya pun sangat sederhana. Sudah demikian sulitkah kita menjadi sederhana dalam berpikir, bertindak dan bertingkahlaku. Teringat berbagai politisi dan para pakar yang selalu getol membahas persoalan bangsa dari berbagai disiplin ilmu, sehingga lebih mengarah pada debat kusir daripada menyelesaiakan persoalannya. Menggunakan istilahistilah rumit mengutip ucapan para Filsuf, menyelipkan bahasa asing pada setiap perkataan yang tak dapat dipahami rakyat, hanya untuk menutupi kelemahannya, dan membuat mereka kelihatan mentereng, berwibawa dan pintar. Ketakutan mereka pada halhal yang bersifat kemasan membuat mereka tidak dapat berpikir sederhana. Sayangnya tindakan ini semakin menggiring mereka lebih jauh dari masyarakatnya.
Disinilah perbedaannya. Dengan kesederhanaan berpikir, berbicara dan bertindak membuat Jokowi digandrungi oleh rakyat. Kesederhanaan inilah yang mudah dipahami oleh rakyat, tidak ada istilahistilah rumit, tidak ada kosa kata asing, malah yang terselip adalah kosa kata jawa dan betawi yang justru di mata hati dan telinga rakyat lebih keren dan gaul. Wow dia sama seperti kita, kata rakyat. Dengan blusukan dia datang menghampiri mereka yang papah, menuntun mereka yang lemah, mencari jalan keluar bagi yang terhimpit persoalan, menangis bersama yang sedih. Ahh tahukah dirimu bahwa jarak yang sekian lama dibentang oleh para penguasa dan politisi taleh kamu pangkas menjadi sedemikian dekat dan intimnya. Agar tahu kondisi ciliwung dan waduk pluit dia rela berjalan diatas sampah, mencium aroma busuk, melompati tinja WC cemplung di pinggir sungai, tanpa membentuk Tim Survey dari para ahli yang menguras kas Pemda. Agar tahu kerumitan Pasar Tradisional yang becek, kumuh dan tak sehat sanitasinya dia Sami Mawon kesana. Tanah Abang yang menjadi pusat perbelanjaan terbesar se asia tenggara yang demikian rumit dan kompleksnya ditertibkan, pedagang kaki lima yang mengokupasi jalan raya digusur, pedagang kecil yang berteriak dan melawan dijawab sederhana oleh Jokowi, kalianlah yang memilih DPRD yang membuat perda bahwa jalan raya tidak boleh menjadi tempat perdagangan, mari kita patuhi aturan yang kalian buat sendiri melalui wakilwakil yang kalian pilih.
Anehnya ada anggota DPRD yang protes, peraturan yang dibuatnya sendiri ditabraknya. Solusipun didapat dengan pendekatan sederhananya, Tanah Abang kembali tertib. Memang sekian lama rakyat negeri ini hanya mendengar tanpa diberi kessempatan berbicara. Sebab para politisi selalu sibuk menyemai janjijanji muluk, usai pemilihan mereka dilupakan, suaranya tak didengar, sang pemenang sibuk menikmati Kursi Kekuasaanya. Rakyat sudah sumpek puluhan tahun hanya mendengar dan mendengar tanpa mau didengar barang sedetikpun. Jeritan hati dan penderitaan ini telah tertahan dan melukai bathin rakyat maka ketika ada yang datang dan duduk bersama mereka, mendengar dengan jujur tanpa empati yang dibuatbuat telah menjadikan orang itu milik mereka seutuhnya. Itulah sepasang pemimpin yang telah memiliki hati rakyat. Jika demikian apakah pemimpin sebelumnya tidak ada dalam hati rakyatnya. Tidak juga demikian. Mereka kebanyakan berpikir rumit, akibatnya jakarta juga rumit. Sudah saatnya pemimpin saat ini berpikir sederhana, agar segalah persoalan dapat juga disselesaikan dengan sederhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H