Lihat ke Halaman Asli

Melawan Klitih Bersama Lupus

Diperbarui: 13 September 2024   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Klitih sebagai salah satu kejahatan jalanan akhir-akhir ini semakin meningkat eskalasinya.  Selain meresahkan, klitih menyisakan tanya. Apa yang perlu dilakukan agar aksi klitih menjadi peristiwa kriminal yang tak berulang?

Ada banyak aspek yang bisa digunakan untuk meninjau peristiswa klitih yang terjadi kemarin maupun hari-hari ini. Pertama, persitiwa ini bisa dilihat dari dampaknya yang meresahkan. Kedua, dipandang dari sudut pandang ahli sosiologi.

Dari kedua aspek di atas, mengatasi klitih berangkat dari sosiologi bisa menjadi pendekatan paling menarik. Mengingat, bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari  tentang perilaku individu dan interaksinya dengan masyarakat ini, mampu menemukan bahwa klitih sebagai ruang ekspresi . 

Klitih Sebagai Ruang Ekspresi!

Bicara tentang ruang ekspresi, tak pelak perlu bicara juga tentang bagaimana stimulus mental. Sebab dari sanalah asal mula kebutuhan akan ruang ekspresi itu ada. Stimulus mental adalah proses merangsang  tubuh dan pikiran untuk meningkatkan aktivitas otak. 

Hal ini sejalan dengan pendapat ahli sosiologi, sebagaimana dikutip dari tirto.id, yang mengatakan; "Sosiolog di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Wahyu Kustiningsih saat dihubungi redaksi Tirto pada Rabu (29/12/2021) menjelaskan bahwa klitih dalam bahasa Jawa atau arti yang sebenarnya berarti mengisi waktu luang dengan melakukan hal yang positif."

Pertanyaannya, mengapa para remaja usia sekolah pelaku klitih ini seakan gagal memaknai hal positif itu? Padahal stimulus mental pada umumnya bisa dilakukan dengan cara membaca, menulis, berkreasi seni, olah raga, aktivitas sosial, maupun belajar hal baru. 

Hanya saja fenomena aksi jalanan seperti  pembacokan oleh para remaja kini dimaknai sebagai klitih juga. Tak heran, keyakinan bahwa klitih sebenarnya merupakan cara mengisi waktu luang dengan melakukan hal yang positif pun bergeser dan berubah negatif.

Bahkan pergeseran makna itu tak pelak mencirikan latar belakang pelaku aksi klitih. Sebagaimana criminal profiling di POLDA DIY, yang dipublikasikan oleh mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, menunjukkan bahwa pelaku klitih umumnya adalah remaja laki-laki yang sering kali memiliki tato atau tindik. Mereka melakukan aksi kejahatan untuk menunjukkan jati diri dan seringkali membawa senjata tajam seperti pedang atau celurit."

Perkembangan makna klitih tersebut pada akhirnya mengubah makna  bahwa klitih, hanya bisa dilakukan orang tertentu saja. Yakni oleh mereka remaja laki-laki usia sekolah  yang sejak awal sudah berniat mengisi waktu luang untuk melakukan aksi kejahatan jalanan.

Masih dikutip dari tirto.id dari pakar sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Wahyu Kustiningsih yang menemukan bahwa  saat ini ruang bagi anak muda untuk mengekpresikan dirinya sangat terbatas. Sehingga, sulit untuk meminta anak muda melakukan hal positif jika tidak ada fasilitas yang mendukung.

Mengingat pendapat pakar sosiologi diatas, rasanya tak berlebihan jika membahas klitih bisa sangat nyambung dengan pembahasan tentang tokoh fiksi remaja bernama Lupus! Lupus yang lucu, lupus yang ceria, dan selalu penasaran dengan hal baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline