Rasanya, fenomena menarik ini hanya ada di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara). Tidak di kabupaten lain. Setiap orang, menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, wajib mengibarkan bendera merah putih. Bukan satu kantor satu bendera. Bukan satu rumah satu bendera. Tetapi, satu orang satu bendera.
Jika suatu rumah memiliki 5 anggota keluarga, maka bendera yang berkibar di depan rumah itu ada lima lembar. Merah putih pun berkibar di mana-mana dengan jumlah: sesuai jumlah penduduk!
Kebijakan satu orang satu bendera di Kabupaten Malinau Kalimantan Utara, bukan sekadar simbol. Hal ini merupakan suatu upaya sistematis dari sang Bupati Dr. Yansen TP., MSi, dalam mengobarkan semangat kebangsaan di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu. Nasionalisme di perbatasan sangat penting.
Selama ini, sebagian masyarakat di pinggiran dan terpencil belum mendapatkan sentuhan kesejahteraan. Mereka yang tinggal di perbatasan dengan Malaysia seringkali berinteraksi dengan warga jiran tersebut, dan menyaksikan betapa lebih sejahtera tetangganya itu.
Warga lebih banyak menikmati hasil produksi orang Malaysia dalam kehidupan sehari-hari, sehingga muncul kalimat menggelitik, "Malaysia di perutku, Indonesia di dadaku."
Pada beberapa kesempatan, tuntutan kesejahteraan itu kadang disertai dengan "ancaman" kebangsaan, seperti mengibarkan bendera Malaysia, atau pernyataan "mau bergabung dengan Malaysia".
Padahal esensinya bukan soal kebangsaan itu, melainkan kebutuhan perhatian dari pemerintah baik daerah maupun pusat. Mereka butuh disejahterakan. Mereka butuh perhatian. Hal yang kadang direspon secara tidak tepat oleh pemerintah.
YTP (sapaan sang bupati) punya cara khas dalam membangun semangat kebangsaan di wilayahnya. Malinau berpenduduk hanya 80-an ribu orang. Sebagian besar beragama Kristen dan beretnis Dayak.
Namun demikian, Indonesia mini tergambar di sana. Semua agama yang diakui di Indonesia ada di Malinau: Islam, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Beragam suku juga tinggal di sana: Jawa, Sunda, Bugis, Manado, Makassar, Toraja, Batak, Aceh, Minang, Melayu, Bali, Timor, Maluku, Papua, dll.
Sejak menjabat sebagai bupati pada 2011 lalu, nilai kebangsaan menjadi salah satu ciri khas YTP. "Tabu bicara perbedaan agama dan etnis di sini," ujarnya berulang kali.
Baginya semua orang sama. YTP beragama Kristen dan beretnis Dayak Lundayeh, namun dia adalah pemimpin semua umat dan seluruh etnis. YTP tak pernah membeda-bedakan. Dia masuk ke semua agama, etnis, dan golongan.