Lihat ke Halaman Asli

Dodi Mawardi

TERVERIFIKASI

Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

PR Besar Guru dan Ortu Ajarkan Toleransi

Diperbarui: 21 Desember 2016   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertubi-tubi negeri ini mendapatkan ujian toleransi, baik toleransi beragama maupun toleransi atas perbedaan suku, rasa dan antar golongan (SARA). Sejak Indonesia merdeka, SARA memang menjadi salah satu hal paling sensitif. Bukan hanya di Indonesia, di seluruh dunia pun, masalah SARA sami mawon, hal yang sangat sensitif.

Ketika beberapa tahun lalu, Indonesia memperoleh sebuah penghargaan sebagai negara paling toleran di dunia, bukan berarti tanpa gejolak intoleransi. Tapi mungkin dibanding negara lain, Indonesia masih lebih baik. Apalagi perbedaan SARA di negeri ini amat besar. Beragam agama, ratusan suku bangsa, dan mungkin ratusan pula perbedaan antar golongan lainnya. Indonesia menjadi salah satu negara paling beragam di muka bumi ini.

Sesungguhnya, kita sudah relatif berhasil menekan intoleransi. Buktinya, mayoritas kita masih bisa hidup damai dan tenang, baik mayoritas maupun minoritas. Prosentase intoleransi jika diangkakan relatif kecil. Tapi, intoleransi tidak boleh hanya dihitung berdasarkan angka-angka saja. Terdapat level yang lebih penting daripada itu, yaitu kualitas intoleransi. Sejauh ini, level kualitas intoleransi kita mulai mengkhawatirkan.

PR menganga di depan mata kita, khususnya buat para guru dan orangtua. Guru-guru lama sudah mulai pensiun, yaitu guru-guru yang memproduksi generasi produktif sekarang. Generasi yang saat ini menguasai panggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Kini sudah lahir generasi baru guru-guru yang berpikir lebih maju, lebih kreatif dan lebih adaptif terhadap perubahan zaman. Guru-guru sekarang bisa menjadi lebih baik dibanding guru sebelumnya, atau sebaliknya lebih buruk, dalam sejumlah hal, termasuk pendidikan toleransi SARA.

Pun demikian dengan orangtua. Generasi produktif saat ini sudah menjadi orangtua yang melek teknologi, melek globalisasi dalam banyak hal, melek budaya, dan melek segalanya, termasuk dalam pola mendidik/mengasuh anak (parenting) yang kian marak khususnya di kota-kota besar. Orangtua generasi Z – sebut saja demikian – juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam hal toleransi SARA. Mereka lebih terbuka, berpikiran maju, mau bertukar pikiran dan bersilang pendapat.

Hal-hal tersebut berkelindan dengan kutub sebaliknya, yang memiliki fanatisme amat sempit dalam SARA, khususnya agama. Mereka berpikir bahwa golongannya yang paling benar, paling eksis, dan berhak menyalahkan golongan lain, bahkan bertindak keras terhadapnya. Sisi ekstrim dari fanatisme sempit inilah yang melahirkan apa yang disebut dunia barat sebagai terorisme. Istilah yang sesungguhnya sudah lama hadir, untuk menyebut siapapun yang menghalalkan kekerasan untuk meneror pihak lain, dengan alasan-alasan ideologis.

Guru dan orangtua generasi Z, punya tugas berat, bagaimana memberikan pemahaman tentang toleransi SARA kepada anak-anak. Mereka juga menghadapi dua kutub yang amat bertolak belakang, namun kerap berkelindan. Yaitu kutub terbuka dan penuh toleransi (bahkan kadang bablas toleransi) dengan kutub sebaliknya yang menganut fanatisme sempit bahkan ekstrim serta tentu saja intoleran.

Dalam era internet dan medsos seperti saat ini, kedua kutub itu dengan mudahnya masuk dan merasuk ke kepala siapapun. Termasuk anak-anak. Amat berbahaya, karena saringan kepala anak-anak masih lemah. Apalagi jika orangtua dan guru, terlambat atau belum pernah atau jarang, memberikan pemahaman yang tepat tentang toleransi SARA, sehingga anak tak punya saringan pikiran yang memadai.

Kita melihat saat ini, relatif mudah meletupkan intoleransi dengan pemantik tertentu. Lebih mudah lagi berkat wabah medsos di seantero kolong jagat, termasuk di Indonesia. Jika generasi Z dan generasi berikutnya sudah memiliki pemahaman yang baik, tentu letupan intolernasi tak perlu lagi terjadi. Walaupun, harus kita akui, di negara yang sudah maju pendidikan dan pengajarannya seperti di Amerika, Eropa dan Ausrtalia pun, intoleransi SARA masih kerap terjadi. Dalam banyak hal dan aspek toleransi, justru bangsa kita lebih baik, sehingga sempat mendapatkan penghargaan tadi.

Sebagai orang yang punya anak, dan berkecimpung di dunia pendidikan, kami tak henti-hentinya memberikan pemahaman positif kepada anak-anak agar selalu menjaga toleransi SARA dengan siapapun. Perbedaan adalah sebuah rahmat. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Kita wajib saling menghormati, menghargai, memahami, tepo seliro dalam banyak hal. Bukan hanya lewat kata-kata melainkan juga dalam tindakan nyata.

Guru dan orangtua menjadi ujung tombak agar negeri ini tetap menjadi bangsa yang punya toleransi SARA  tinggi. Bangsa yang dihargai dan dihormati bangsa lain karenanya. Bangsa yang nyaman ditinggali oleh semua warganya yang beragam dan berbeda ini, sejak lahir sampai akhir hayatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline