Lihat ke Halaman Asli

Dodi Mawardi

TERVERIFIKASI

Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Belajar Pendidikan Karakter dari PSSI vs Menpora

Diperbarui: 13 Maret 2016   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Mulutmu harimaumu…” Pernah dengar pepatah ini?

“Cakarmu singamu…” Kalau yang ini, apakah pernah dengar?

Pepatah pertama pasti sering kita dengar, sebagai ungkapan untuk menggambarkan betapa kuatnya pengaruh ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Intinya adalah jangan pernah abaikan perkataan Anda. Jangan pernah sembarangan berkata-kata, karena setiap kata punya makna. 

Kalau pepatah kedua?  Hehe, mungkin Anda baru mendengarnya ya. Saya modifikasi dari pepatah pertama, untuk menggambarkan bahwa setelah ucapan, maka tindakanlah yang akan menjadi ukuran selanjutnya. Apakah ucapan Anda benar-benar akan menjadi kenyataan, atau omong doang (omdo)? Tindakan menjadi pembukti terhadap setiap ucapan yang Anda keluarkan. 

Apa hubungan kedua pepatah tersebut dengan pendidikan karakter dari kasus konflik PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dengan Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga)? 

Banyak! Yuk kita kupas satu persatu. 

Karakter itu bukan hasil belajar instan, melainkan produksi dari kebiasaan kita sehari-hari yang berproses panjang sejak kita lahir sampai sekarang. Mendidik karakter manusia adalah hal paling sulit dilakukan, karena panjangnya durasi tersebut dan beragamnya sifat dasar manusia serta besarnya pengaruh dari lingkungan. Tak heran jika sebagian praktisi pendidikan karakter atau pegiat parenting, menyebutkan bahwa untuk mendidik karakter seorang anak, dibutuhkan keterlibatan seluruh masyarakat. Bukan hanya orangtuanya saja, atau gurunya atau tetangganya. 

Apa yang terjadi dalam negara kita dewasa ini, khususnya yang melibatkan para pemimpin dan elit-elit dapat menjadi gambaran tentang bagaimana karakter anak-anak bangsa kita. Di berbagai bidang. Kebetulan saja yang dikupas tuntas dalam artikel ini adalah konflik PSSI dengan Menpora, karena saya penggemar olahraga (khususnya sepakbola) dan sudah mengikuti perkembangan olahraga nasional sejak kelas 4 SD. Masih banyak konflik lain yang membuat dada berkerut (bukan hanya kening) terutama yang melibatkan para elit partai politik.

 

1.      Kita biasa diajarkan kompetisi bukan kolaborasi.

Sejak kecil, kita dibiasakan untuk berkompetisi (termasuk saya). Sejak SD, saya dipacu untuk selalu menjadi peringkat 1, juara kelas, bintang kelas. Saya harus mengalahkan teman-teman sekelas. Hal itu berlanjut sampai ke level SMA. Barulah pada masa kuliah, semangat kompetisi itu menurun. Menurut para ahli perkembangan anak, pendidikan karakter dasar efektif dilakukan pada usia 0 hingga 15 tahun. Semua hal yang dibiasakan pada usia tersebut, akan menjadi karakter kita ketika sudah dewasa. Semangat saling mengalahkan lumayan mendarahdaging, hehe. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline