Tepuk tangan riuh merespon tarian api (fire dance) menjadi puncak dari Ubud Writers & Readers Festival 2015. Panitia menyuguhkan sejumlah tarian tradisional dengan klimaksnya adalah tarian api pada penutupan festival Minggu (1/11) di Museum Antonio Blanco. Sejumlah penari, pria dan wanita, membawa sejumlah obor menyala-nyala, di tangan. Sebagian menyemburkan api dari mulut. Sebagian memutar-mutar gelang raksasa berapi di pinggangnya. Sungguh semarak. Mencengangkan. Membuat seluruh penonton – yang 80% orang asing – terpesona.
Pesona pula yang mencuat dari benak seluruh pengunjung festival tersebut. Selama 4 hari mereka dibuai oleh diskusi berkualitas, bedah buku, bedah film, peluncuran buku dan kegiatan spesial lainnya. “Terlalu banyak pilihan,” demikian ucap Catherine, seorang pengunjung asal Australia, mengomentari banyaknya acara dalam festival kali ini. Tentu komentar bernada positif.
Catherine mewakili pendapat sebagian besar pengunjung festival. Mereka puas. Mereka akan kembali lagi tahun depan. Sebagian dari mereka, sudah berkali-kali menghadiri Ubud Writers Festival. Dan tidak pernah bosan. Panitia selalu mampu menyuguhkan acara dengan variasi yang memuaskan pengunjung. Tahun ini, tema festival adalah 17.000 Islands of Imagination. Tak heran jika tema-tema diskusi dan acara lainnya, berkaitan erat dengan imajinasi tentang Indonesia.
Menurut Janet DeNeefe, ketua penyelenggara festival, tahun ini lebih banyak penulis dan pelaku industri kreatif Indonesia yang dihadirkan. Selain penulis, editor, dan penerbit, festival juga mengundang sejumlah pakar dan praktisi perfilman. Misalnya Nia Dinata, sineas senior ikut serta mengupas industri perfilman Indonesia. Bahkan penyanyi Glenn Fredly pun hadir ke sana bukan untuk melantunkan suaranya, melainkan diskusi tentang proses kreatif film Beta Maluku: Cahaya dari Timur.
Panitia ingin memberikan panggung yang lebih luas kepada pelaku industri kreatif Indonesia. 16 penulis baru pun diundang secara khusus untuk tampil di sana. Mereka, penulis-penulis baru berbakat dan berpotensi. Selain itu, sejumlah penulis terkemuka juga dihadirkan, bahkan menjadi bintang dalam festival kali ini. Eka Kurniawan misalnya, novelis yang disebut-sebut sebagai Pramudya Ananta Toer baru. Di Ubud, Eka didapuk sebagai kurator yang menyeleksi penulis-penulis baru. Beberapa sesi juga disediakan khusus untuk Eka.
Yang paling menyedot perhatian adalah Raditya Dika, pemuda multitalenta. Dia penulis buku-buku jenaka, stand up comedian, sutradara dan pemain film. Di Ubud, Radit berbicara dalam beberapa sesi. Setiap sesinya, selalu ramai. Tidak ada kursi kosong. Sebagian audiens adalah anak-anak usia remaja – kebanyakan perempuan. Seru, ramai dan kocak. Bahkan pengunjung dari berbagai negara pun terpukau oleh gaya bahasa Dika yang seru dan isinya yang seringkali mengocok perut. Dibanding penulis lain Indonesia yang hadir di sana, bahasa Inggris Radit bisa dibilang yang paling bagus. Apalagi dia juga pernah kuliah di Australia, sehingga dengan mudah mampu membuat pengunjung asal Australia terpingkal-pingkal.
Untuk urusan menampilkan penulis dan pelaku industri kreatif lokal, panitia festival Ubud bisa disebut berhasil. Selain yang berlevel nasional, panitia juga sukses menampilkan pelaku lokal. Sejumlah pelaku lokal bukan hanya berasal dari Jakarta dan Jawa, melainkan juga dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Madura dan tentu saja Bali. Dua buah film dokumenter karya sineas asal Sumatera Utara, Erick Est membuat pengunjung terpukau. Satu bercerita tentang Janggan, salah satu jenis layang-layang legendaris di Bali, dan satu lagi tentang Suku Dayak di Long Saan Malinau Kalimantan Utara.
Namun… bagaimana dengan pengunjung? Jumlah pengunjung festival Ubud selalu melewati angka 20 ribu orang. Pun demikian tahun ini. Tapi, seperti tahun-tahun sebelumnya, jumlah pengunjung asal luar negeri selalu dominan. Angkanya berkisar antara 80% – 90%. Sisanya adalah orang Indonesia. Minoritas di negeri sendiri.
Ketut Suardhana, dedengkot penyelenggara festival tersenyum getir ketika berdiskusi tentang pengunjung asal Indonesia. Senyuman yang menyiratkan keprihatinan. Jumlah pengunjung asal Indonesia, selalu minim dalam setiap penyelenggaraan festival. Padahal, panitia sudah menyiasati banyak hal, agar jumlah pengunjung domestik meningkat. Misalnya dengan mengundang lebih banyak pelaku lokal yang tampil. Atau dalam hal tiket. Harga tiket untuk pengunjung domestik, jauh lebih murah dibanding pengunjung asing. Bandingkan saja, Rp 4.000.000 (empat juta rupiah) untuk warga negara asing dan Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah) buat orang Indonesia, untuk festival selama 4 hari. Jauh bukan bedanya?!