Lihat ke Halaman Asli

Dodi Mawardi

TERVERIFIKASI

Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Kupas Tuntas Cara Komunikasi Dua Capres

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik mencermati persaingan para capres dalam pemilu presiden kali ini. Sebagai orang komunikasi, tentu kajian saya lebih banyak dari sisi komunikasinya. Mohon maaf, saya tidak dalam posisi mendukung salah satu capres. Tulisan ini semata-mata berdasarkan keilmuan tentang komunikasi, pemahaman saya tentang keilmuan tersebut dan pengalaman langsung terkait praktik komunikasi.

Satu hal prinsip yang saya pegang teguh sampai saat ini adalah antara isi dan cara komunikasi, harus selaras. Sebagian orang menganggap isi lebih penting dibanding cara. Sebagian lainnya menganggap, keduanya sama pentingnya. Sebagian lagi, mengabaikan cara. Dan sebagian lainnya justru secara sadar dan tidak sadar, mengabaikan isinya. Bagi saya, ilmu komunikasi telah mengajarkan dengan sangat tepat, bahwa baik isi maupun cara, sama-sama pentingnya. Ketika Anda mengabaikan salah satunya, maka tujuan komunikasi tidak akan tercapai.

Contoh mudah terjadi ketika kita mengajari anak-anak. Isinya adalah melarang anak untuk naik pohon. Kalimat apa yang tepat untuk menyampaikan isi tersebut? Sekali lagi, isinya sama yaitu melarang anak agar tidak naik pohon. Silakan pilih kalimat di bawah ini:

-“Nak, jangan naik pohon ya, nanti jatuh!”

-“Nak, sebaiknya kamu tidak naik pohon lagi.”

-“Nak, tuh tangga yang itu lebih enak kalau dipanjat...”

-“Nak, main di sini saja lebih asyik...”

Kalimat mana yang Anda pilih? Beda kalimat beda efek yang diterima oleh sang anak. Itu belum termasuk cara komunikasinya, apakah dengan cara berteriak dan bernada keras. Atau lemah lembut. Atau sambil berkacak pinggang dan melotot. Atau tanpa melihat ke arah sang anak. Komunikasi bukan hanya verbal (yang terucap atau tertulis), komunikasi juga menyangkut non verbal (gestur, mimik, dan intonasi dll). Bahkan semua pakar komunikasi sepakat bahwa dampak dari non verbal, jauh lebih besar dibanding dampak verbal. Contoh, ketika Anda mengejek seseorang dengan kalimat, “Anda jelek sekali.”, maka efek dari kalimat itu akan lebih dahsyat, jika diucapkan dengan intonasi tinggi, mimik muka Anda marah dan sambil berkacak pinggang. Dibanding, jika Anda mengatakan kalimat itu sambil tersenyum, muka ceria, dan tangan diletakkan menyatu di depan dada seperti posisi menyembah.

Itu baru contoh sederhana bagaimana peran isi dan cara komunikasi harus singkron dan selaras dengan berbagai hal; dengan tujuan komunikasi; dengan siapa kita berkomunikasi; di mana dan kapan berkomunikasi, dan lain sebagainya. Sekali kita abaikan hal-hal tersebut, siap-siaplah menerima kenyataan bahwa komunikasi kita tidak tepat sasaran, atau malah kontraproduktif.

Dalam kaitan dengan pejabat publik, di Kompasiana ini saya sempat menulis tentang gaya komunikasi Ahok, wakil gubernur Jakarta. Dalam banyak kesempatan, Ahok sering berkomunikasi dengan cara keras atau malah kasar. Saya tahu, Ahok orang baik dan tujuan komunikasinya juga baik. Isi komunikasnya pun sangat positif. Tapi, karena caranya kadang tidak tepat, hasil komunikasinya juga kadang kontraproduktif. Komunikan (orang yang diajak komunikasi) tidak menangkap isinya, tetapi malah mempermasalahkan caranya. Untunglah, belakangan Ahok mulai mengurangi cara komunikasi yang kurang tepat tersebut. Ceplas ceplos tentu boleh saja, namun karena beliau adalah pejabat publik, tentu saja cara berkomunikasi harus lebih diperbaiki lagi, mengingat efek dari komunikasi pejabat publik yang jauh berbeda dibanding manusia lainnya.

CARA KOMUNIKASI DUA CAPRES

Nah, ini yang menarik dan sedang menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Bagaimana dengan cara komunikasi dua capres kita. Dua manusia terbaik bangsa ini, yang berkompetisi untuk menjadi presiden. Yang kebetulan, memiliki dua gaya dan cara berkomunikasi yang berbeda, bahkan cenderung bertolak belakang. Nyaris semua cara komunikasi kedua orang ini berbeda, baik dari sisi komunikasi verbal maupun non verbal.

Tentu saja cara kedua capres ini mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Pun tergantung siapa yang memberikan persepsinya. Positif buat kalangan tertentu, belum tentu buat yang lain. Ada sisi-sisi tertentu dari komunikasi yang menyangkut selera, bukan hanya tepat atau tidak tepat.  Kita mulai dengan Prabowo ya, kupasannya sesuai urutan nomornya.

Indonesia sudah lama dipimpin oleh kalangan militer, sehingga tidak heran kalau persepsi sebagian masyarakat tentang pemimpin adalah pemimpin militer. Sosok militerlah yang melekat dalam isi kepala sebagian masyarakat, yang tegas, penuh wibawa, gagah, dan kesan sejenisnya. Sebagian masyarakat ini tentu sangat setuju jika calon pemimpinnya kelak punya stereotip pemimpin seperti itu, yang ada pada diri Prabowo. Cara berkomunikasi Prabowo baik verbal maupun non verbal adalah cara komunikasi yang memberikan kesan tegas, gagah, dan penuh percaya diri. Plus juga penuh semangat, menggelora, ibarat pasukan tempur yang siap menghadang musuh.

Sedangkan Jokowi sebaliknya. Dia seadanya. Nyaris tanpa polesan komunikasi. Cara berkomunikasi Jokowi cenderung sederhana, polos, dan jauh dari kesan tegas, berwibawa apalagi tegas. Bagi sebagian masyarakat kita yang sudah bosan dan tidak suka dengan gaya kepemimpinan militer, tentu gaya berkomunikasi ala Jokowi ini adalah angin segar. Namun, bagi sebagian masyarakat yang sudah kadung lebih cocok dengan gaya pemimpin penuh karisma (Soekarno meski bukan militer, gaya komunikasinya amat berkharisma dan menggelora), maka gaya komunikasi Jokowi tidak cocok.

Yang lebih penting bagi kedua capres itu adalah bagaimana menyampaikan pesan yang baik (saya yakin isi pesan mereka adalah selalu baik dan positif) dengan cara yang tepat. Cara yang tepat berkaitan dengan:

1.Apa tujuan komunikasinya (persuasif, argumentatif, eksposisi atau sekadar informatif). Beda tujuan, beda pula cara berkomunikasinya.

2.Dengan siapa mereka berkomunikasi (kalangan elit, cendekiawan, pelajar, atau masyarakat umum/awam). Beda audiens, beda pula cara komunikasinya.

3.Di mana mereka berkomunikasi (di kampus, lapangan, ruang publik, pasar, gedung DPR dll). Beda tempat, beda pula cara berkomunikasinya.

4.Dalam suasana apa mereka berkomunikasi (kampanye, formal, informal dll). Beda suasana, beda pula cara berkomunikasinya.

Saya masih melihat, kedua capres cenderung tidak peduli dengan keempat hal tersebut. Gaya mereka ya begitu itu. Dimanapun berada, dalam suasana apapun, dengan siapapun mereka bicara, dan tujuannya apapun, cara keduanya tetap sama. Sesuai dengan gayanya masing-masing. Yang satu tegas dan penuh semangat, yang satu seadanya dan polos. Pada kondisi tertentu, akan terlihat jelas bagaimana kelemahan cara komunikasi keduanya, jika hanya menggunakan gayanya masing-masing tanpa peran polesan cara komunikasi yang tepat.

PERAN PENTING KOMUNIKASI DALAM KEPEMIMPINAN

Saya sungguh tidak setuju dengan sejumlah pihak, yang mengabaikan peran komunikasi dalam kepemimpinan. Jika melihat catatan sejarah, begitu banyak masalah besar muncul akibat komunikasi. Begitu banyak kehebatan, juga berkat komunikasi. Silakan pelajari cerita di balik pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Di sana ada peran terjadinya kesalahan komunikasi antara pemimpin Jepang dan Amerika Serikat, yang menyebabkan bom atom jatuh lebih cepat daripada seharusnya. Silakan tengok juga catatan sejarah tentang sebuah dinasti di China, ketika seorang kaisar memulai pemerintahannya, yang menjadikan komunikasi sebagai hal pertama yang harus dipelajarinya sebelum memimpin.

Meskipun bukan segalanya, tapi pengabaian terhadap cara berkomunikasi akan berdampak buruk pada diri sang pemimpin sendiri. Silakan saja. Abaikan cara komunikasi. Maka, dampaknya akan menimpa sang pemimpin tersebut. Mohon maaf bagi para pendukung Abdurrahman Wahid, mantan presiden kita, yang menurut saya lebih cepat jatuh atau dijatuhkan DPR akibat dari cara berkomunikasinya yang relatif tidak tepat menghadapi lawan politiknya. Akibat dari gaya komunikasi Gus Dur yang polos dan seringkali asal jeplak (ditandai dengan kalimat populer, “Gitu Aja Repot”), makin banyak pihak yang – secara politik – tidak mendukungnya. Sekali ini dari sudut pandang cara komunikasi.

Di Amerika Serikat, debat antar calon presiden menjadi salah satu yang paling menarik terkait cara komunikasi para kandidat. Debat berlangsung seru dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat pemilih di sana. Mereka menilai calon presidennya dari isi debat dan cara berdebatnya, atau cara berkomunikasinya. Berkali-kali terjadi ketika seorang capres kalah berdebat, kalah juga dalam pemilu. Dia kalah dalam hal cara berkomunikasi (meski belum tentu kalah dalam hal isi), berakibat pada tidak meningkatnya jumlah dukungan atau mungkin berkurangnya dukungan dari pemilih mengambang. Penyampaian pesan dengan kurang percaya diri misalnya – terlihat dari mimik mukanya – akan berpengaruh besar terhadap persepsi audiens.

Semoga para capres kali ini tidak mengabaikan cara berkomunikasi. Betul, bekerja jauh lebih penting, berkarya jauh lebih berharga, namun mengabaikan cara komunikasi adalah sebuah kesalahan fatal. Apapun hasil karya dan hasil kerja kita; Apapun proses yang dijalankan, jika tidak dikomunikasikan dengan tepat, maka hasinya tidak akan maksimal.

Selamat menikmati debat para capres!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline