Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Agna keluar dari kantor redaksi surat kabar. Gadis berkacamata itu tampak lelah. Pekerjaannya sebagai redaktur sebuah penerbitan berita membuatnya sering lembur. Tugas seorang redaktur memang cukup banyak. Agna harus melakukan editing atau penyuntingan, yaitu menyeleksi dan memperbaiki naskah berita dari wartawan sebelum dimuat atau disiarkan. Terlebih ia adalah redaktur yang menangani rubrik kriminal di salah satu kantor koran ternama di kota tempatnya tinggal.
Tiga bulan ini, sering terjadi peristiwa pembunuhan misterius yang sangat meresahkan masyarakat. Dalam dua minggu kemarin saja, ada tiga kasus pembunuhan. Total sudah ada delapan kasus yang sama. Dan korbannya selalu perempuan. Kondisi jasad korban pun sangat mengerikan. Ada yang ditemukan dengan luka sayat menganga di wajah, leher yang digorok, perut yang terbelah, bahkan pisau yang masih tertancap di alat kelamin korban. Begitu sadis tak punya rasa iba si pelaku menyiksa dan membunuh korban-korbannya.
Dan Agna baru saja mendapat kabar seorang wanita dilaporkan menghilang. Pihak kepolisian masih mencari dan menyelidiki keberadaan wanita itu. Terakhir ia berpamitan dengan ayahnya untuk keluar rumah dengan gaun merah selutut yang dipakainya. Mungkin saja wanita itu sudah menjadi korban ke sembilan pelaku pembunuhan yang masih jadi misteri itu.
“Kamu udah mau pulang?” suara seorang lelaki dari arah belakang mengejutkan Agna. Aufa –teman kerja Agna yang juga sebagai wartawan– dengan senyum di wajah, duduk di jok sepeda motornya yang menyala.
“Iya, Fa. Lagi nunggu angkot,” ucap Agna membalas senyum.
“Pulang sama aku aja. Lagian jam segini udah jarang ada angkot. Apalagi kamu perempuan. Sendirian. Bahaya.”
“Enggak apa-apa Fa. Aku naik angkot aja. Makasih ya.”
“Beneran nih enggak mau bareng aku?”
Agna tersenyum lebih manis memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.
“Yaudah. Hati-hati ya, Na. Aku duluan.” Aufa mengerlingkan mata dan memacu gas motornya.
Sebenarnya Agna merasa tidak enak menolak ajakan Aufa. Tak bisa dipungkiri, yang diucapkan Aufa ada benarnya. Dengan keadaan kota seperti sekarang, cukup berbahaya bagi Agna untuk pulang malam sendiri. Ia tidak tahu ada bahaya apa yang akan mengancam selama perjalanan pulang. Tapi, kejadian siang tadi membuat Agna merasa tidak enak dengan Aufa.