Tumpahan Minyak
Indonesia sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua benua menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur perdagangan dan transportasi antar Negara. Banyak kapal-kapal pengangkut minyak maupun cargo barang yang melintasi perairan Indonesia yang menyebabkan negara kita sangat rentan terhadap polusi laut. Ditambah dengan posisi Indonesia sebagai penghasil minyak bumi, dimana di beberapa perairan dan pelabuhan Indonesia dijadikan sebagai terminal bongkar muat rninyak bumi termasuk juga bermunculannya bangunan pengeboran lepas pantai yang dapat menambah resiko tercemarnya perairan Indonesia (JICA-Dephub cit. Sulistyono, 2012).
Sebelum tahun 1960, permasalahan polusi laut kurang mendapat perhatian. Situasi ini kemudian berubah sejak terjadinya kecelakaan pada kapal tanker Torrey Canyon (1967), Amoco Cadiz milik Britania (1978), Exxon Valdez di Alaska (1989), dan Sea Empress milik Wales Barat Daya (1996) yang menyebabkan tumpahnya minyak mentah ke dalam laut. Peristiwa-peristiwa tersebut menggerakkan para pembuat kebijakan, legislator, dan masyarakat, untuk mengangkat permasalahan tentang pencemaran laut (Churchill cit.; Meinarni, 2016).
Polusi dari tumpahnya minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Pencemaran minyak semakin banyak terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan minyak untuk dunia industri yang harus diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya jumlah anjungan-anjungan pengeboran minyak lepas pantai. Dan juga karena semakin meningkatnya transportasi laut (Kuncowati, 2010).
Sebaran tumpahan minyak, selain mengakibatkan pada permasalahan lingkungan juga dapat mengakibatkan pada permasalahan sosial dan ekonomi pada daerah yang dilaluinya. Lingkungan yang tercemar oleh tumpahan minyak, kualitasnya menjadi turun. Turunnya kualitas lingkungan berpengaruh dengan terhadap kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya (Kusnandar cit. Suwedi, 2017). Apabila semua resiko penanggulangan dan pemulihan kualitas lingkungan akibat terjadinya tumpahan minyak jadi beban negara maka efek timbulnya kerugian negara dan pembengkakan pengeluaran negara menjadi bertambah (Loureiro cit. Suwedi, 2017).
Minyak yang tumpah di lautan ini dapat dibersihkan melalui beberapa cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknik bioremediasi. Melalui teknik ini, tumpahan minyak akan didaur ulang seluruh material organiknya menggunakan bakteri pengurai. Bakteri tersebut dapat diisolasi dengan menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi yang telah dilokalisir menggunakan oil boom (semacam pelampung) (Priyono, 2012). Dalam hal ini bioremediasi merupakan proses detoksifikasi dan degradasi minyak dari senyawa yang kompleks menjadi senyawa sederhana seperti CO2 dan H2O. Melalui proses ini diharapkan lahan atau lingkungan akuatik yang tercemar minyak bumi akan menjadi normal kembali (Udiharto cit. Nugroho et al., 2007).
Bioremediasi
Pada prinsipnya, bioremediasi adalah penggunaan mikroorganisme yang telah dipilih untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu untuk menurunkan kadar polutan tersebut. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut yang memegang peranan dalam memodifikasi struktur polutan beracun menjadi tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan tidak berbahaya (Priadie, 2012).
Teknologi bioremediasi dengan mikroorganisme cukup potensial untuk diterapkan di Indonesia mengingat kondisi iklim dan keanekaragaman mikroorganismenya, karena Indonesia merupakan daerah tropis dengan sinar matahari dan kelembaban tinggi yang sangat mendukung percepatan proses pertumbuhan mikroba untuk aktif mendegradasi minyak (Udiharto cit. Umroh, 2011). Tujuan utama bioremediasi adalah untuk menghilangkan kontaminan dalam lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan (Bonner et al., 1997).
Kelebihan teknologi bioremediasi ditinjau dari aspek komersial, relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah, dan bersifat fleksibel. Ada empat teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi. Pertama, stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dan sebagainya. Kedua, inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus. Ketiga, penerapan immobilized enzymes, dan, keempat, penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar (Yetti, 2010).
Aplikasi bioremediasi skala besar telah dilakukan di Prince William Sound, Alaska, setelah peristiwa tumpahan minyak Exxon Valdez pada tahun 1989 (Boopathy 2000). Bioremediasi dianjurkan sebagai metode yang aman dan efektif oleh badan-badan lingkungan hidup di seluruh dunia, termasuk Canadian Environmental Quality Guidelines, Canada-Wide Standards for Petroleum Hydrocarbons in Soil dan US Environmental Protection Agency. Negara-negara Uni Eropa menerapkan Dutch Standard untuk bioremediasi (Chevron, 2012).